Spirit Conductor: Book 1, Chapter 22



Chapter 22 - Pulang

Di Benua Tiramikal, ada tiga fraksi terkuat yang memiliki kekuatan imbang.

Tatalghia Kingdom:

Sebuah kerajaan di utara Benua Tiramikal yang memiliki wilayah terbesar di benua tersebut. Sekitar empat puluh persen tanah Benua Tiramikal dan ratusan desa tingkat satu beserta fraksi-fraksinya dikendalikan oleh Tatalghia Kingdom.

Dan sekarang, ketika muncul rumornya tentang pilar bercahaya biru yang merupakan pertanda munculnya harta karun tak tertandingi, Tatalghia Kingdom langsung mengumpulkan pasukan.

Sebagai tiran dan raksasa yang agresif, mereka berniat menjadi fraksi pertama yang merebut harta karun rumor tersebut.

Moon Temple:

Kuil yang didedikasikan untuk seorang Dewa Langit. Moon Temple tak banyak memiliki pasukan. Tetapi pengaruhnya sampai ke kerajaan-kerajaan yang ada di selatan Benua Tiramikal. Jika saja Pendeta Tinggi memberikan mandat untuk berperang, kekuatan yang dikumpulkan bisa menandingi Tatalghia Kingdom. Tapi hal itu hampir tak pernah terjadi selama ribuan tahun.

Saat ini, para eselon kuil tengah berkumpul untuk rapat.

“Lord Darinkha mengirimkan pesan. Perintahnya kita harus membasmi seorang arwah bernama Gyl von Tiramikal.”

Kata Pendeta Tinggi dengan nada serius. Ia adalah seorang kakek berwajah baik hati. Tapi dari raut muka dan nadanya, terdengar nada pemimpin yang sangat dipaksakan, tapi terkesan natural setelah bersikap demikian selama puluhan tahun.

“Arwah? Apa dia sudah buat kontrak dengan Blue Robe Acolyte Society?”

“Blue Robe Society... walaupun mereka gak sekuat dulu tapi kita punya hubungan baik dengan fraksi itu. Akan sedikit menjadi masalah kalau kita menyinggung mereka.”

Para eselon dan sepuh yang hadir menyuarakan kekhawatiran mereka. Itu wajar saja. Karena dalam ruangan luas berdinding ornamen kuno itu, tak ada satu pun dari mereka yang masih muda. Setiap dari mereka memiliki sejarah panjang dan pengalaman yang dalam. Jadi kapan pun mereka selalu waspada.

“Itu tak bisa dihindarkan. Ini adalah perintah langsung dari Lord Darinkha,” kata Pendeta Tinggi dengan suara berat. Dia juga, dalam hatinya, tak ingin membuat masalah dengan fraksi yang sama sekali bukan musuhnya.

Moon Temple adalah sebuah fraksi yang dikuasai oleh kakek-kakek dan nenek-nenek tua yang konservatif. Walaupun beribu-ribu tahun yang lalu mereka dikenal sangat agresif dalam menyebarkan pengaruh mereka, tetapi belakangan ini mereka nampak menciut dan sangat waspada.

Terutama setelah mengalami bencana yang hampir melenyapkan seisi kuil tiga belas ribu tahun yang lalu.

Moon Temple tak lagi arogan seperti dulu. Peristiwa itu membawa luka bagi para pendeta kuil. Bahkan para penerus ikut terbawa suasana hingga menjadi konservatif seperti sekarang ini.

Oleh karena itu, walau memiliki posisi sebagai salah satu fraksi terkuat di Benua Tiramikal, Tatalghia Kingdom tak pernah menganggap mereka serius.

“Kalau begitu kita gunakan tekanan untuk memisahkan arwah itu dari Blue Robe Acolyte Society. Setidaknya dengan begitu, kita bisa menunjukkan sedikit usaha untuk memuaskan Lord Darinkha,” kata salah seorang sepuh yang ada di situ.

Yang lain mengangguk setuju mendengarnya. Mereka juga, tak ingin jauh-jauh tenggelam ke dalam lumpur. Tapi di saat yang bersamaan, mereka takut membangkang perintah seorang dewa langit.

Tapi pada saat ini seorang pria mengucapkan sepatah kata. Ia adalah anggota eselon termuda di situ, memiliki status terendah dan hanya sebagai Kepala Perpustakaan.

“Saudara-saudara sekalian. Aku memang gak tahu banyak mengenai urusan tentang perintah Lord Darinkha ini. Tapi ketika mendengar nama Gyl von Tiramikal... aku yakin, sama sekali gak ada sangkut pautnya dengan Blue Robe Acolyte Society.”

Suara Kepala Perpustakaan terdengar pelan, tapi ketika ia berkata, semua orang menoleh ke arahnya.

“Saudara Klaus! Kamu adalah seorang pustakawan. Tentu yang paling berpengetahuan di antara kami. Tolong cerahkan saudara-saudara ini... apakah kamu mengetahui tentang arwah yang bernama Gyl von Tiramikal ini?”

“Ya. Aku sudah beberapa kali membaca tentangnya,” Kepala Perpustakaan mengangguk beberapa kali sambil menatap mata Pendeta Tinggi.

“Apa benar dia gak memiliki hubungan dengan Blue Robe Acolyte Society? Semua arwah kuat biasanya bernaung di situ. Bahkan jika kita bisa membatasi gerakannya, jika terlalu agresif, aku khawatir dia akan meminta bantuan Blue Robe Acolyte Society setelah itu.”

Pendeta Tinggi menggeleng-geleng. Jika hal ini terjadi tiga belas ribu tahun yang lalu, sebelum bencana terjadi, Moon Temple tak akan segan-segan datang ke gerbang fraksi kelas dua seperti Blue Robe Acolyte Society. Tapi sekarang berbeda, semakin berjalannya waktu, pelan-pelan mereka berubah menjadi pengecut.

“Dari yang kubaca... jika dia benar-benar Gyl von Tiramikal yang dimaksud, seharusnya dia gak akan menggantungkan diri ke Blue Robe Acolyte Society. Terlebih lagi, Blue Robe Acolyte Society adalah fraksi baru jika dibandingkan dengan pengalamannya. Ia gak bakal berlari ke sana,” kata Kepala Perpustakaan menggeleng-gelengkan kepala.

“Itu bagus, setidaknya kita gak berhadapan dengan Blue Robe Acolyte Society.”

“Kalau begitu lepaskan pasukan Templar elite kita. Beberapa dari mereka seharusnya mampu mengatasi hal ini.”

“Kukira perintah Lord Darinkha kali ini akan menyusahkan kita. Tapi ternyata lawan kita kali ini hanyalah seorang arwah.”

Melihat saudara-saudara kuilnya melepaskan napas lega, wajah Kepala Perpustakaan semakin berubah serius. Kemudian, dengan nada genting, ia berkata:

“Saudara-saudara sekalian. Sepertinya di sini ada salah paham. Ketika aku mengatakan kalau aku yakin arwah Gyl gak akan menggantungkan diri ke Blue Robe Acolyte Society, yang aku maksud adalah, Gyl gak akan merendahkan dirinya ke fraksi seperti itu. Aku yakin, dalam benaknya, Blue Robe Acolyte Society hanyalah sekte kampungan baginya!”

“Saudara Klaus!” beberapa orang tak mengerti apa yang dimaksudnya, mendesaknya untuk menjelaskan situasi yang akan mereka hadapi.

“Benua Tiramikal tiga belas ribu tahun yang lalu memiliki nama berbeda. Apa saudara-saudara sekalian sudah lupa... mengapa benua ini berubah nama waktu itu?”

Para eselon dan bahkan Pendeta Tinggi terdiam sejenak. Kemudian, salah satu dari mereka menjawab; “Itu karena seorang ahli mengubah nama benua kita dengan namanya sendiri....”

Mendengar itu, semuanya langsung menyadari sesuatu.

“Saudara Klaus, apa maksudmu... orang yang mengganti nama benua ini menjadi Benua Tiramikal... adalah arwah yang bernama Gyl von Tiramikal ini?”

“Itu benar!” kata Kepala Perpustakaan mantap.

“Seseorang yang bisa bersikap arogan seperti itu, seharusnya memiliki kekuatan terkuat di benua ini!”

“Seseorang yang memiliki kekuatan terkuat di benua ini... tiga belas ribu tahun yang lalu...”

Semua orang teringat suatu peristiwa yang menimpa kuil mereka.

“Gyl von Tiramikal, adalah Pemberontak terakhir tiga belas ribu tahun yang lalu yang menjadi puncak kekuatan di dunia ini. Dialah yang membawa ratusan clan dan sekte, serta mereka yang tak puas dengan tirani para dewa langit, dan memicu perang dimana-mana! Konflik duniawi pada saat itu mencapai pada puncaknya, jutaan pasukan langit turun ke bumi untuk memerangi satu orang saja! Sampai pada akhirnya, ia dikhianati, ratusan fraksi di bawah naungan langit bersatu bersamaan dengan pasukan setengah dewa berhasil mengalahkannya!

“Saat itu, ia menjadi legenda. Tapi dunia sudah lama melupakan namanya. Bahkan Benua Tiramikal... karena semua orang ingin melupakan bencana mengerikan yang hampir menghancurkan separuh benua ini, mencoba untuk menghapus sejarah mereka sendiri!

“Tapi beruntung, leluhur kita bijaksana,” ratap Kepala Perpustakaan pada akhirnya. “Mereka tahu bahwa arwah iblis itu belum benar-benar hancur. Jadi di dalam rahasia perpustakaan, mereka meninggalkan peringatan untuk penerus seperti kita, agar menghindari mati-matian amukan Gyl von Tiramikal! Sebagian dari mereka bahkan sempat menimbang... untuk mengganti nama Moon Temple dan melepaskan diri dari Lord Darinkha!”

Absurd! Melepaskan diri dari seorang dewa langit untuk kuil bermartabat seperti Moon Temple, sama saja seperti menggali kuburan sendiri!

Tapi hal itu menjelaskan, seberapa takutnya leluhur mereka tiga belas ribu tahun yang lalu...

Mereka takut, dengan nama Gyl von Tiramikal!

Karena... waktu itu mereka hampir dimusnahkan oleh Gyl!

Dan saat ini, tak ada ruang lagi untuk mereka berdiskusi. Dalam benak hati para eselon kuil, mereka sudah mencapai kesepakatan bersama.

Tiba-tiba saja saat ini, seorang Sepuh yang memiliki status sangat tinggi berdiri dan menatap serius wajah-wajah eselon lainnya, hingga berhenti pada Pendeta Tinggi.

“Sayang sekali, saudara-saudara. Rapat kali ini sangat penting. Tetapi... saat ini... aku tak bisa menolak... panggilan alam... kumohon kepada saudara-saudara untuk mempersilahkanku untuk permisi!”

Dengan begitu, Sepuh tersebut melangkahkan kakinya dari meja rapat. Semua wajah yang melihat sikapnya, langsung berubah tak nyaman dilihat.

Dan pada saat ini, ada Sepuh lainnya yang mengikuti jejaknya. Langsung saja tiba-tiba bangkit dari kursinya.

“Aku juga mohon permisi. Karena... ada suatu kepentingan yang gak bisa kulewati!”

“Kepentingan apa yang kamu maksud, saudaraku?” tentu saja yang lain tak rela jika orang ini juga ikut pergi begitu saja.

“Suatu kepentingan... yang sangat penting!” jawabnya dengan nada ambigu. Dengan begitu, ia pun melangkahkan kaki keluar tergesa-gesa. Takut dipanggil kembali ke meja rapat.

Air muka Pendeta Tinggi tenggelam melihat ini. Tapi ia tak berkata apa-apa untuk melarang dua orang itu pergi.

Dia juga, sebenarnya ingin kabur dari tanggung jawab. Ia tak ingin ada di meja rapat ini ketika Moon Temple secara resmi menolak perintah Lord Darinkha... untuk pertama kalinya!

Tapi sayangnya ia adalah pemimpin kuil ini.

Saat ini, ia mengeluarkan batuk kering. Tak tahu bagaimana caranya untuk melancarkan situasi kembali.

“Saudara-saudara sekalian tau kan, bagaimana pentingnya setiap kali Lord Darinkha memberikan perintah?”

Yang lain mengangguk. Tapi dari pancaran mereka nampak terasa berat.

“Kita gak bisa membantah. Tapi... sepertinya situasi berkata lain. Pemimpin pasukan elite kita... saat ini... sedang terkena demam berdarah!”

Pendeta Tinggi berkata dengan nada tegas, tapi dalam hati ia tak yakin dengan ucapannya sendiri.

“Si Anjay terkena demam berdarah?”

“Kenapa kita baru mendengarnya?”

Para eselon saling berbisik. Tapi cepat kebenaran terungkap di antara mereka. Salah satu dari mereka baru saja bertemu dengan pemimpin pasukan elite yang dimaksud pagi tadi. Dan dia terlihat sehat-sehat saja.

“Gak gitu! Dia baru saja terkena demam berdarah!” bantah si Pendeta Tinggi paksa.

Para eselon terdiam. Beberapa saat kemudian, mata mereka bersinar-sinar.

“Benar juga. Si Anjay... terkena demam berdarah... bisa diatur!” kata seorang Sepuh sambil tersenyum aneh.

Semua orang menoleh ke arahnya. Tepat pada saat itu juga, mereka setuju pada suatu hal dalam hati.

“Bukan cuma si Anjay.... barangkali.... si Furqon juga kena demam berdarah!”

“Si Wisnu sedang menjenguk neneknya yang sakit. Dia sekarang gak bisa bertugas... ahhh!”

“Aku baru ingat. Semua pasukan cadangan kita juga sedang keracunan makanan. Lebih baik istirahat tiga hari dulu...”

Setelah mereka mengatakan demikian, ada batu mengganjal yang terangkat dari hati mereka. Setiap dari eselon tua itu melepaskan napas lega dalam hati.

Lima belas menit kemudian, Pendeta Tinggi secara pribadi menulis surat yang penuh berisi penderitaan para pasukan Moon Temple. Setiap dari mereka, bahkan sampai penjaga dan prajurit bawahan... memiliki alasan untuk bebas tugas.

“Sebaiknya kita cepat-cepat mengirimkan pesan ini ke Lord Darinkha. Kalau tidak... beliau akan mengira kita mencari-cari alasan untuk menghindari tanggung jawab!”

Bukankah itu yang sedang mereka lakukan? Tapi para eselon yang lain tak peduli. Mereka mengangguk setuju. Dan cepat setelah itu, seekor burung melesat ke langit membawakan pesan yang ditulis Pendeta Tinggi.

Keadaan hening selama sepuluh menit. Tak ada dari mereka yang berkata.

Namun tiba-tiba, kemudian, langit yang cerah berubah begitu saja. Awan menjadi hitam dan bergerak memutar-mutar tepat di atas kuil Moon Temple. Petir dan guntur menggelegar. Cepat saja, siang hari itu berubah gelap seperti malam.

“KALIAN SEMUA.... GAK BERGUNA!!!” raung sebuah suara murka dari atas langit.

Semua pendeta kuil Moon Temple yang mendengar itu gemetar bukan main.

Wajah para eselon, terutama Pendeta Tinggi, menjadi pucat tak berwarna.

“AKU MENDIDIK KALIAN SEJAK AWAL DAN APA YANG TERJADI? SETIAP DARI KALIAN... GAK ADA YANG BERGUNA!!! SAMPAH!!!”

*BUUUURRRRR!!!!*

Guntur menggelegar semakin menjadi-jadi. Petir berwarna jingga turun menghantam bangunan kuil.

Semua orang berlarian panik. Keluar dari bangunan yang tersambar petir. Mereka hendak berlindung ke bangunan lain. Namun, yang terjadi selanjutnya, bangunan tersebut juga tersambar petir.

*BUURR!!* *BURRR!!!* *DUURRR!!!!*

Amukan Lord Darinkha berlangsung dua jam penuh. Selama itu, ratusan petir menghantam bumi. Hampir semua bangunan Moon Temple hancur lebur. Namun beruntung para pendeta dan murid kuil hanya menderita luka-luka.

Saat ini Pendeta Tinggi berdiri linglung menatap Moon Temple-nya yang hancur. Ia melihat wajah-wajah para eselon lain yang kehilangan semangat. Jubah kuil mereka sudah menjadi compang-camping, dan wajah mereka pada gosong terkena hantaman petir.

Setiap dari mereka, walaupun berat hati, namun tak menyesali kebijakan mereka sebelumnya.

“Sepertinya, mulai saat ini, Moon Temple akan kehilangan bantuan dari Lord Darinkha...” keluh salah seorang eselon.

“Pengaruh yang kita buat selama ribuan tahun, akan menghilang begitu saja.”

“Moon Temple akan dihapuskan dari singgasana fraksi terkuat...”

“Tapi setidaknya.... kita bisa selamat.... tak ada yang meninggal. Ketimbang bila kita benar-benar mengikuti perintah Lord Darinkha....”

“Kita akan menjadi sasaran pertama iblis itu,” eselon yang mendengarnya menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Mereka melepaskan napas panjang.

Seorang nenek tua menghampiri Pendeta Tinggi.

“Lharu...”

Pendeta Tinggi menoleh, saat melihat nenek tua itu, pancaran matanya menjadi lembut.

“Sari,” sapanya sambil tersenyum. Sekejap tanda kesedihan di wajahnya menghilang.

Nenek ini adalah seorang Sepuh di kuilnya. Statusnya tak terlalu tinggi, tapi dalam hati Pendeta Tinggi, ia adalah satu-satunya yang paling dekat.

“Lharu, aku akan kembali ke desa. Cucuku lagi dalam masalah. Kukira ini saat yang tepat untuk pensiun.”

“Itu bagus. Jika keluargamu dilindungi oleh Mage berlevel 84 sepertimu, mereka gak akan merasa resah lagi.”

“Bagaimana denganmu? Beberapa tahun yang lalu kamu bertemu dengan cucumu. Kamu gak pernah bercerita tentang hal itu.”

Mendengar Sari menyebut cucunya, wajah Pendeta Tinggi menjadi tertekuk menyesal.

“Cucuku... ketika mempelajari kalau kakeknya mengabdi ke dewa langit... ia langsung membenciku,” jawabnya sambil melepaskan napas panjang.

“Sepertinya cucumu mirip denganmu sewaktu muda. Sangat bertalenta, tapi ambisius dan angkuh.”

Pendeta Tinggi mengangguk. “Hanya saja... ia mempelajari sejarah keluargaku. Pasti dalam hatinya, aku adalah seorang pengkhianat.”

Sari terdiam sesaat. Kemudian berkata:

“Itu sudah berlalu. Kuil sudah gak lagi mengabdi ke Lord Darinkha. Bukannya aku betul? Mulai saat ini, Moon Temple adalah fraksi independen. Seharusnya kamu gak merasa bersalah lagi.”

Pendeta Tinggi mengangguk. Kemudian ia napas panjang lagi.

“Lharu, ayo ikut denganku kembali pulang ke desa,” ajak Sari. “Kamu sudah memiliki buyut sekarang. Barangkali jika kamu melihat mereka, kamu akan menemukan semangat baru. Hidup tenang dan damai bersama keluarga.... bukanlah hal buruk untuk orang tua seperti kita.”

Ratapan mata Pendeta Tinggi melunak. Ia menatap mata nenek itu, kemudian tersenyum lebar.

“Mungkin saja... saatnya untukku pensiun juga.”

Nenek Sari tersenyum, ada kebahagiaan terpancar di matanya. Ia membetulkan kerah jubah Pendeta Tinggi, kemudian berkata:

“Ayo kita berkemas.”

Kemudian, kabar Pendeta Tinggi akan pensiun tersebar di Moon Temple. Calon Pendeta Tinggi baru sudah ditentukan, perpindahan kekuasaan berjalan dengan mulus. Tak ada yang bersemangat untuk merebut kekuasaan dari calon kepala kuil yang baru.

Satu jam kemudian, seorang kakek dan nenek berpakaian sederhana dan usang berdiri di sebuah pondok kecil. Pondok itu memiliki banyak sarang burung raksasa.

Seorang pemuda menghampiri mereka, membungkuk memberi hormat.

“Pendeta Tinggi. Sepuh Sari.”

“Kami bukan lagi senior di Moon Temple,” kata Nenek Sari lembut. “Panggil aku Nenek Sari, dan mulai sekarang jangan juga memanggil Pendeta Tinggi. Cukup Kakek Lharu saja.”

Pemuda itu mengangguk. “Ke mana kita akan pergi?”

“Ke arah timur,” jawab Nenek Sari.

Mereka langsung menghampiri sebuah sarang burung elang raksasa. Sebelumnya, sepasang kakek dan nenek ini memiliki hak untuk menggunakan elang raksasa ini secara pribadi. Tetapi sekarang mereka sudah pensiun, hanya boleh menumpang.

“Akhirnya berakhir sudah,” keluh Kakek Lharu. “Gak ada tekanan dari Thatalgia Kingdom, perintah dari Lord Darinkha... dan yang paling penting... aku gak akan pernah bertemu arwah Gyl von Tiramikal.”

Kakek Lharu berkeluh kesah dengan nada seakan ia sudah melewati bencana terbesar dalam hidupnya.

Tiga orang itu terbang menunggangi elang raksasa. Hati Kakek Lharu terasa ringan, sekaligus berat. Rupanya ia gugup pulang ke rumah setelah seratus tahun lebih pergi dari keluarganya tanpa kabar.

“Jika aku kembali, apa masih ada yang mengingatku?” tanyanya resah dalam hati.

Pada saat ini, pemuda yang mengendalikan elang tersebut bertanya:

“Nenek Sari, tepatnya, ke mana Nenek mau diantar?”

“East Tiramikal Kingdom. Desa Bardil. Keluarga Malikh.”

“Bagiamana dengan Kakek Lharu?”

“Desa Bardil juga. Turunkan saja aku di depan kediaman Keluarga Yashura.”

***

Akhirnya setelah 1 bulan lebih hiatus, SC balik lagi (sori kelamaan, author rada-rada pemalas).

Dengan update-nya Chapter 22, Spirit Conductor resmi membuka buku baru.
Btw, Buku 1 udah saya kasih nama: "Peristiwa Benua Tiramikal".

Sekarang kita akan masuk ke buku 2, yang judulnya "Tragedi di Desa Badril"!!!


<<PREVIOUS CHAPTERNEXT CHAPTER>>