Spirit Conductor: Book 2, Chapter 25



Chapter 25 - Meninggalkan Laut

Di tengah lautan sepi, seorang pemuda tengah memancing di perahu kecilnya.

Ia mengenakan sebuah kaos putih kusam dan sebuah topi caping tua di kepala.

Nelayan muda itu menoleh ke suatu arah, melihat seorang pemuda lain tengah berjalan di permukaan air laut. Ia tersenyum, menarik topi capingnya ke bawah, menunggu kedatangan Shira sambil mencoba terlihat misterius.

Saat Shira mendekat, ia melihat nelayan muda itu ternyata buntung tangan kanannya. Dari beberapa sentimeter di atas pergelangan tangannya sudah menghilang lama sekali. Ia tengah duduk bersila di perahu kecilnya, sambil memegang pancingan dengan tangan kiri, ia tersenyum kepada Shira yang datang.

“Permisi...” sapa Shira kepada nelayan muda itu.

“Akhirnya kamu datang kemari,” balasnya dengan ramah.

“Apakah Anda adalah... Penguasa Laut?”

“Penguasa Laut? Kamu bisa bilang begitu. Hanya aku seorang yang tinggal di laut ini. Semua orang lain datang dan pergi. Jadi kamu bisa bilang laut ini adalah wilayah kekuasaanku karena gak ada orang lain lagi untuk dijadikan saingan, haha.”

Shira tersenyum mendapati keramahan sang Penguasa Laut. Tapi dalam hatinya terasa bingung. Entah mengapa, mendengar suara nelayan muda ini, rasa tak asing menjalar di tubuhnya. Sampai-sampai membuatnya merasa ngeri sendiri. Rasa tak asing tersebut malah lebih terasa ketimbang saat ia berhadapan dengan sosok di atas rakit sebelumnya.

Nelayan muda tersebut melebarkan senyumnya, seperti ia dapat membaca pikiran Shira, menurunkan lagi topi capingnya ke bawah. Wajahnya semakin tersembunyi. Shira tak bisa melihat rupa pemuda itu kecuali senyum ramahnya yang lebar.

“Kamu berpikir kalau aku gak asing, bukan?”

“Aku juga merasakan hal yang sama ketika bertemu dengan orang yang berlayar dengan rakit. Rupanya dia sedang mencarimu.”

“Dia? Aku kagum dia bisa melewati dinding antar dimensi di usia semuda itu. Di masa depan, dia akan menjadi Spirit Conductor yang hebat,” kata si nelayan muda, namun kepalanya kemudian menggeleng-geleng. “Tapi antara dia dan laut ini, sama sekali gak ada karma atau benang takdir yang mengikat. Gak seperti kamu. Barangkali kalau dia memiliki kesabaran dan menunggu beberapa ratus tahun lagi di sini, aku akan mempertimbangkan untuk bertemu dengannya.”

Shira menarik napas dalam-dalam. Menunggu beberapa ratus tahun? Bahkan ia yang terjebak puluhan tahun di sini sudah kehilangan harapan sebelumnya.

“Jadi, wahai anak muda, apa yang kamu inginkan dariku?” tanya si nelayan itu. Shira mengedip-ngedipkan matanya. Ia ingin segera pulang, tapi ia masih penasaran tempat apa ini.

“Sebenarnya aku ingin bertanya. Saat ini, aku terjebak tanpa tubuh asliku. Saat ini, aku berada di mana?”

“Kamu berada di laut.”

“Maksudku... lautan seperti apa yang harinya gak pernah berganti ke malam? Lautan ini juga sepertinya memiliki kesadaran.”

“Yap, yap. Lautan ini memiliki kesadaran. Dan dia menyukaimu. Kamu ingin pulang, bukan?”

Shira mengangguk.

“Menjawab pertanyaanmu, tempat seperti apa ini... jika dijawab dari sudut pandangku; laut ini adalah rumah. Tapi jika harus kujawab dari sudut pandangmu, maka akan ada dua jawaban yang berbeda.”

“Dua jawaban yang berbeda?”

“Tubuhmu, sekarang ada di Desa Badril. Tapi ketika jiwamu setelah dibangkitkan dengan benih Pemberontak oleh Immortal Blood Knight dan Gyl von Tiramikal, gak mampu menahan tekananya. Itu karena kamu menolak menerima jiwa Pemberontakmu, seharusnya jiwamu hancur setelah itu. Beruntung darah seorang Yashura mengalir di nadimu. Jadi, ketimbang hancur, jiwamu kabur dari alam bawah sadarmu untuk sesaat...

“Ini jarang sekali terjadi bagi seorang Pemberontak di masa lalu. Bahkan untuk pendekar Yashura pun sangat jarang. Tapi untuk seorang Spirit Conductor, kemungkinan untuk mengalami hal ini sangatlah besar! Kita yang sudah mengalaminya menyebut peristiwa ini sebagai perjalanan mental. Tak jarang, mereka yang kembali setelah perjalanan mental ini mendapatkan banyak rejeki nomplok!”

Shira mengangguk-angguk mendengar penjelasan nelayan ini. Tapi dalam hatinya, ia tak sabaran ingin memaksa nelayan ini menyebutkan tempat apa ini sebenarnya. Bukan malah menjelaskan hal yang sama sekali tak ada hubungannya!

“Terus, ini tempat apaan? Aku sedang berada di mana?”

“Tempat ini, bagimu, gak nyata. Dan juga di sisi lain kamu, bagi tempat ini, sama sekali gak nyata. Jadi jika aku menjelaskan kamu berada di mana, aku juga bingung mau menjelaskannya bagaimana.”

Kalau bingung, buat apa menjelaskan panjang lebar barusan? Kalau saja orang ini bukanlah Penguasa Laut yang hebat, kepalanya sudah dipentung sama Shira.

“Anda bilang tadi ada dua jawaban. Apa jawaban yang kedua?”

“Laut ini disebut sebagai Laut Segiempat Bertua,” jawab si nelayan muda tanpa bertele-tele lagi.

Mendengar itu, sontak saja bulu kuduk Shira menjadi tegang.

“Segiempat Bertua.... kenapa gak bilang sejak awal....” suara Shira terdengar lemas. Sedang nelayan muda itu cekikikan kecil dengan nada ‘hehe’, ia mengingat kembali informasi tentang Laut Segi Empat Bertua dari buku yang ia baca di perpustakaan Keluarga Yashura.

Laut Segiempat Bertua. Adalah sebuah laut aneh yang paling misterius, angker, dan berbahaya. Sejarahnya, banyak perahu dan kapal yang melewati wilayah ini menghilang begitu saja.

Orang-orang mengatakan mereka ditelan oleh monster laut. Ada yang bilang mereka dijadikan persembahan Dewa Laut. Ada pulang yang mengatakan mereka dikirim ke dunia lain.

Apa pun spekulasi orang-orang, kenyataannya, mereka yang masuk ke Laut Segiempat Bertua tak ada yang kembali....

Shira sempat kehilangan semangat sesaat. Tapi ia cepat menyadari orang yang ada di hadapannya adalah Penguasa Laut. Sebenarnya, ia tak tahu persis seperti apa Penguasa Laut ini. Tapi mendengar penjelasannya semenjak tadi, Shira jadi yakin Penguasa Laut dapat mengirimnya pulang ke Desa Badril.

“Jadi sekarang apa kamu sudah puas?”

Shira mengangguk.

“Sudah siap pulang kembali? Selain mengirim ke Desa Badril, aku juga akan mengulang waktu. Jadi gak perlu khawatir kalau kamu sudah pergi dari rumah selama puluhan tahun.”

“Anda bisa memutar kembali waktu?!” seru Shira terkejut.

“Tentu saja. Malahan, aku harus mengulang kembali waktu gak lama setelah kamu datang kemari. Saat ini... tubuhmu sudah membusuk tinggal tulang-belulang. Shira Yashura di Desa Badril sudah meninggal lama sekali. Tunanganmu Bhela Malikh sudah menikah dengan orang lain, dan saat ini yang menjadi Tuan Muda Keluarga Yashura adalah anak dari kakak sepupumu Mila Yashura.

“Selama kamu di sini, waktu terus berjalan. Dunia terus-menerus berputar dan berkembang tanpamu. Jadi aku harus mengulang kembali waktu agar kamu bisa pulang. Kalau gak begitu bisa-bisa kamu jadi hantu gentayangan seperti si Arwah Baik Hati.”

Nelayan muda itu tertawa terbahak-bahak.

Shira mengangguk. Dia juga sudah mengira kenyataan bakal seperti itu. Jadi ia tak mengucapkan sepatah kata pun.

“Tapi, sebelum kamu pergi, seseorang ingin kamu menemuinya.”

Shira mengangkat alisnya. “Siapa?” tanyanya.

Nelayan muda itu tersenyum lagi, kemudian menepuk tangannya sekali.

Tepat pada saat itu juga, semua energi yang ada di udara berubah wujud. Shira terenyak. Ia tak pernah melihat hal seperti ini. Energi Yin yang pekat berubah menjadi sebuah kabut tipis berwarna ungu yang dapat dilihat oleh mata telanjang.

Begitu juga laut. Airnya yang biru kehijauan berubah menjadi berwarna ungu.

Kemudian, di satu titik, kabut ungu berkumpul. Gas ungu tersebut kemudian menyublim dan membentuk sebuah sosok wanita.

Sekilas dari sosok wanita itu terlihat bahwa ia masih muda, sekitar dua puluhan. Sedikit demi sedikit, kabut ungu tersebut memadat membentuk lekuk tubuhnya, pakaiannya, dan akhirnya melukis wajahnya dengan bibir tipis yang manis dan mata cerah yang indah.

Ketika kabut itu selesai membentuk sosok wanita itu dan memberikannya warna kulit putih yang cerah, akhirnya Shira menyadari siapa wanita itu.

“Laut?”

Wanita itu melihat ke arah mata Shira, tapi langsung menatap ke bawah sambil mengangguk sebagai jawaban.

Shira tak mengira, laut yang menemaninya selama ini memiliki kesadaran seorang wanita.

“Aku harus pulang. Selama ini aku berada di sampingmu, menyukai saat-saat itu.”

Shira berkata singkat dengan senyum kepada Laut. Hatinya sangat sederhana. Selama puluhan tahun berada di lautan ini, hanya kesadaran lautan ini yang menemaninya. Dan ketika ia mengetahui kesadaran itu adalah seorang wanita cantik, hatinya terasa hangat dan bahagia.

“Sekarang aku akan pulang tapi suatu saat nanti aku akan kembali. Tunggu aku.”

Kesadaran Laut memberanikan diri melihat ke matanya, kemudian merundukkan kepala lagi. Ia berjalan pelan ke arah Shira, dan menaruh tangannya yang putih ke dada Shira.

Shira merasakan, energi kabut ungu yang ada di sekitar meresap ke dalam tubuhnya.

Si nelayan muda awalnya tak peduli dan tak ingin ikut campur pada urusan pasangan ini. Ia membalikkan badan dan kembali sibuk memancing untuk memberi mereka ruang. Tapi ketika merasakan wanita itu memberikan energi kabut ungu kepada Shira, terpaksa ia menoleh ke arah mereka.

“Sepertinya.... gadis itu benar-benar masih mengingat perasaannya.”

Di tempat lain di laut itu, di tempat laut sama sekali tak berubah ungu, sebuah sosok tengah duduk bersila di atas rakit.

Tiba-tiba sesuatu membuatnya terbangun dan waspada.

“Afinitas kabut ungu!” serunya dalam hati. Ia menoleh ke arah di mana Shira berada. Tiba-tiba saja ia merasakan nostalgia. Sesuatu membakar semangatnya.

“Separuh hidup kuhabiskan untuk mencari afinitas kabut ungu,” katanya pada diri sendiri. “Aku mengorbankan banyak hal untuk mencapai ‘Liquid Dragon Flowing Style’ dan datang ke dunia ini, hanya untuk melihat anak itu mendapatkan afinitas kabut ungu tanpa melakukan apa-apa!”

Kembali di mana Shira berada.

Kabut ungu di udara menipis. Shira merasakan energi khas tersebut melemah. Di saat yang bersamaan, wajah Kesadaran Laut langsung menjadi pucat.

“Kamu memberikanku ini untuk bisa mengingatmu?”

Wanita laut itu diam. Hanya merunduk sedih.

“Mulai sekarang aku bisa merasakan keberadaanmu. Bahkan jika aku kembali ke desaku, aku akan mengingat di mana arah laut ini berada. Dan suatu hari nanti, aku akan menyeberangi benua, datang ke sini, gak bakal meninggalkanmu lagi.”

Shira tersenyum lembut. Ia tak peduli dengan gadis yang ditunangkannya puluhan tahun lalu di Desa Badril. Ia juga tak peduli kalau wanita laut ini bukanlah seorang manusia.

Hatinya sederhana. Ketika seseorang setia menemaninya selama lebih dari tiga puluh tahun, tak pernah ia merasa kesepian. Setiap hari, sangat damai dan manis. Membuat penantiannya diisi oleh kehangatan.

Ia menyadari sudah jatuh cinta untuk pertama kalinya.

Dalam laut aku terjebak waktu.

Tapi dalam laut juga aku menemukanmu.

Semua kata yang tak pernah kuucapkan sebelumnya.

Semua kata yang tak pernah kudengar sebelumnya.

Kurasakan dari hembus angin yang kamu tiup.

Tak pernah aku membuka hati seperti ini.

Dalam damai bersamamu, kurasakan kehangatan setiap hari.

Tapi pada akhirnya juga aku tidaklah nyata.

Kamu tidaklah nyata.

Aku harus kembali.

Jadi tunggu waktu di mana kubawa kamu pergi.

Saat itu, aku berjanji kita kan bersama lagi.


Setelah mengelus lembut wajah Laut, Shira hanya bisa mendesahkan napas dalam hati. Semakin lama dan semakin dalam ia mengingat-ingat wajah Laut, hatinya semakin berat meninggalkan tempat ini.

“Gak kukira kamu sangat cantik,” katanya sambil tersenyum malu.

Laut juga langsung tersipu malu. Tapi ia mengusap lembut telapak tangan Shira dengan wajahnya.

“Tunggu aku!” kata Shira sekali lagi meyakinkan wanitanya. Laut mendongak, melihat dalam ke mata Shira. Kemudian mengangguk.

Dengan begitu Shira berbalik ke arah nelayan muda untuk meminta mengirimnya kembali. Tapi ketika ia melihat nelayan itu menatap ke arahnya dan laut semenjak tadi, situasi langsung menjadi canggung.

“Uhuk uhuk,” nelayan itu mengeluarkan batuk kering untuk melancarkan suasana lagi. “Apa kamu ingin kembali sekarang?”

“Ya!” kata Shira percaya diri.

Dengan begitu nelayan muda tersebut, sebagai Penguasa Laut, hanya dengan menjentikkan jarinya langsung terbuka sebuah lubang dimensi.

Lubang dimensi itu menyimpan kewibawaan yang sangat misterius. Shira, berdiri di depannya, seperti tengah menghadap kekuatan yang Maha Kuasa.

“Berjalanlah lewat lubang dimensi ini. Di ujung jalan, kamu akan kembali ke Desa Badril tiga puluh tahun yang lalu.”

Shira berjalan, sekali melihat ke belakang dan melepaskan tangan Laut, ia pun pergi tertelan lubang dimensi tersebut.

Kabut ungu lenyap setelahnya. Begitu juga dengan tubuh Kesadaran Laut. Sosok wanita itu perlahan memudar di udara.

Setelah semuanya pergi, baru nelayan muda itu sedikit mengangkat topi capingnya.

Tiba-tiba saja ia menengadah ke langit, sesaat kemudian, rintik kecil gerimis lembut menyentuh wajahnya.

“Perempuan bodoh. Kamu memberikan separuh kesadaranmu kepada anak itu. Hanya untuk memberikannya sedikit kesempatan untuk bisa datang lagi ke sini dengan kekuatannya! Tapi yang ada kamu bakal menghilang, bersamaan dengan waktu. Mustahil untuk bertemunya lagi suatu hari nanti.”

Rintik gerimis menjadi hujan. Nelayan muda itu tahu, Laut sangat bersedih hati. Ia hanya menghela napas panjang dan membuka topi capingnya. Membiarkan air hujan yang merupakan rasa sedih Laut.

Seiring dengan air hujan menetes di wajahnya, nelayan muda itu merasakan hatinya teriris perih.

Hatinya sakit sekali menerima rasa sedih Laut. Tapi ia tak menolak. Membiarkan Laut menumpahkan rasa sedih kepadanya. Bagaimana ia bisa menolaknya? Dulu, dulu sekali... ia pernah bersikap sangat egois dan membuat kesalahan sampai-sampai mencemari karma dan menyiksa seorang yang pernah ia cintai.

Dan ini adalah bentuk penebusannya. Walau sedikit, ia ingin menenangkan rasa sedih dan kesepian Kesadaran Laut.

Samar ia juga merasakan tatapan Laut yang tertuju kepadanya. Ia tersenyum. Nelayan muda tersebut tahu Laut tengah kebingungan dalam sedihnya.

Karena nelayan muda ini memiliki wajah mirip sekali dengan pemuda yang baru saja meninggalkannya.

Nelayan muda ini, adalah Shira Yashura.

“Jangan pedulikan aku. Lama sekali kamu sudah melupakanku. Sudah gak ada lagi benang takdir di antara kita.”

Ia melambaikan tangannya, dan gelombang laut sekejap menjadi liar untuk sesaat.

Tapi kemudian laut menjadi tenang kembali. Hanya hujan kesedihan menemani hari yang damai ini.

Di tempat lain, masih di laut tersebut, sebuah sosok tengah menengadah ke langit. Sambil melihat ke awan yang menumpahkan hujan, ia bertanya dalam hati.

“Mengapa hujan jatuh di laut ini? Aku gak pernah mendengar ini sebelumnya.”

Oleh butir-butir air hujan, kabut yang melapisi wajahnya tersapu. Wajahnya terlihat. Penuh dengan luka-luka, dan sosok itu telah kehilangan satu matanya.

Tapi figur wajahnya masih ada di sana dan bisa dikenali. Seorang pemuda berumur sekitar dua puluh lima. Wajahnya juga, sangat mirip dengan pemuda yang baru saja pergi dari laut ini. Membuat Laut menjadi kebingungan lagi dalam sedihnya.

“Mengapa... hatiku terasa perih sekali?” tanya sosok itu meratap ketika ikut merasakan kesedihan Laut.

Nelayan muda di tempat lain yang melihat ini kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan lembut, ditepuk-tepuknya air laut dari atas perahu. Dan akhirnya Kesadaran Laut itu pun tertidur.

Hari menjadi cerah kembali di laut tersebut.

***

<<PREVIOUS CHAPTERNEXT CHAPTER>>