Spirit Conductor: Book 2, Chapter 26



Chapter 26 - Hantu Cabul

Empat hari berlalu semenjak cahaya pilar biru menerangi Benua Tiramikal.

Hal itu adalah sebuah peristiwa yang menggerakkan seisi benua. Kabar tentang hal itu tak banyak keluar ke benua lain karena hampir seluruh fraksi yang berkuasa menekan informasi. Rumor mengatakan akan ada harta karun yang sangat besar. Mereka ingin mendapatkannya seorang diri.

Malam ini, di suatu tempat di hutan belantara, sebuah lubang dimensi terbuka.

Seorang pemuda berjalan keluar. Ia melihat sekelilingnya lewat tirai kegelapan yang tersamar oleh cahaya bulan.

“Hutan di belakang gunung Desa Badril,” gumam Shira, mengenali tempat ini walau tak pernah datang ke sini sebelumnya.

Sekarang tubuhnya transparan dan ia bisa mengambang di udara. Sama seperti arwah yang ia lihat. Gentayangan seperti Arwah Baik Hati.

“Aku harus cepat kembali,” katanya. Dan ia berjalan di udara kembali ke desa.

Tak jauh dari tempat Shira datang, dua ekor singa tengah tertidur. Jantan dan betina. Ketika lubang dimensi itu muncul, singa jantan itu sontak terbangun dan menoleh ke arah Shira berada.

“Sayang, ada apa?” tanya singa betina ketika menyadari pasangannya tiba-tiba bersikap aneh.

Singa jantan tak menjawab. Ia juga bisa berbicara. Adalah seekor monster elite, yang terkuat di hutan ini.

Singa ini, adalah Raja Hutan.

“Aku merasakan energi seperti milik Master,” kata Raja Hutan beberapa saat kemudian.

“Benarkah? Tapi Master gak pernah turun gunung semenjak ribuan tahun yang lalu.”

“Mungkin aku yang salah,” katanya, ia memejamkan mata lagi. “Ayo tidur lagi.”

Shira kembali pulang. Setelah lebih dari puluhan tahun jiwanya terjebak di laut, ia melihat lagi tanah kelahirannya. Tapi ia merasa asing. Desa Badril tak berubah sama sekali tapi Shira sudah dewasa sekarang.

Belum sampai ia ke gerbang desa, tiba-tiba Shira berhenti. Ia melihat ke arah danau yang ada di dekat gunung.

“Aura ini...” ia merasakan aura yang sangat tak asing. Aura yang menemaninya selama puluhan tahun ini. Jantungnya berdebar. Hatinya menjadi tak karuan.

“Laut? Mengapa dia ada di sini?” tanyanya dalam hati. Langsung saja ia bergegas mencari sumber aura itu.

Shira kebingungan. Awalnya, ia bisa merasakan aura Laut bahkan berjuta-juta kilometer jauhnya semenjak Laut memberikan kabut ungu kepadanya. Tetapi sekarang ia tak menemukan aura Laut yang lain di mana pun selain yang ada di danau ini.

“Apa yang terjadi? Laut, apa kamu datang mengikutiku ke sini?”

Ia sampai di mulut danau. Mengikuti sumber aura yang ia rasakan, Shira berjalan pelan.

Shira berhenti ketika ia melihat punggung putih seorang gadis. Gadis itu tengah mencuci rambutnya yang panjang.

Saat melihat gadis ini dari belakang, pikiran Shira langsung hampa. Perasaan yang tak asing ini, tak salah lagi, intuisi mengatakan bahwa gadis ini adalah...

“Laut,” gumam Shira, suaranya kecil, tapi tak sengaja gadis di danau itu mendengarnya.

Gadis itu menoleh ke belakang, melihat sebuah sosok transparan tengah mengambang di udara.

“AAAAAAKKHH!!!” sontak gadis yang terkejut itu berteriak sambil menutup tubuh telanjangnya dengan kedua tangan, menciutkan tubuhnya masuk dalam air danau.

Shira terenyak. Ia tenggelam dalam suasana hatinya ketika merasakan aura Laut, tak sadar bahwa ia tengah memandangi seorang gadis yang lagi mandi.

Tapi ia tak memalingkan pandangannya dari gadis itu. Ia masih terkejut, ketika melihat wajah gadis itu, adalah wajah Laut jika ia sepuluh tahun lebih muda ketika Shira melihatnya sebelum ini.

Shira baru ingat, ia pernah melihat gadis ini sebelum jiwanya datang ke laut. Ia tak tahu sebelumnya. Baru setelah ia memperhatikan Shira menyadari identitas gadis ini.

“Apa yang kamu lihat?!” teriak gadis itu marah. Wajahnya memerah ketika mendapati sosok pemuda transparan itu tak melepaskan pandangan dari wajahnya.

“DASAR CABUL!!!” teriaknya sekuat tenaga.

*Plup*

Saat ini, sebuah kepala muncul dari dalam air. Seorang gadis lain, rambutnya terikat dan semenjak tadi ia mandi sambil berenang di dalam danau.

“Ada apa?” tanya gadis dengan rambut diikat itu ketika samar-sama mendengar teriakan temannya dari dalam air. Ia langsung berdiri dan berjalan ke arah temannya.

Gadis yang teriak tadi menoleh, Shira juga ikut menoleh.

Gadis dengan rambut terikat itu berjalan pelan ke arah temannya. Shira, ketika melihat gadis ini, pikirannya menjadi kacau.

Ia sama sekali tak menutup tubuhnya, memperlihatkan lekuk tubuh matang seorang wanita. Shira, dengan naluri lelakinya, tak sengaja melekatkan matanya ke arah dua bulatan yang montok bertengger di tubuhnya.

Pandangan naluriahnya ketahuan oleh gadis pertama. Matanya terbakar marah. Langsung saja ia berteriak tinggi sampai tenggorokannya sakit.

“WHAAAA!!”

Ia berlari sekuat tenaga ke arah gadis berambut terikat itu sambil menutupi badannya dengan kedua tangannya yang kecil.

“Ada apa? Mengapa kamu berteriak begitu?” si gadis berambut terikat tak bisa melihat kehadiran Shira. Jadi ia tak mengerti sikap temannya.

“Kak Bhela, tutup tubuhmu!” seru gadis itu. Ia langsung melompat dan membungkus tubuh telanjang gadis berambut terikat itu dengan tubuhnya.

“Lyla, ada apa?”

Shira melihat dua gadis telanjang yang saling berpelukan. Jiwa laki-lakinya bergetar. Tapi pikirannya cepat kembali lagi. Ia sadar telah melakukan kesalahan yang sangat fatal.

“Maafkan aku!” serunya sambil langsung melayang pergi.

Bhela tak bisa mendengar ucapan Shira. Tapi Lyla Blackwood bisa mendengarnya.

“Huuu huuuuhuuuuu....” ia menangis tersedu-sedu sambil menenggelamkan wajahnya di dada Bhela.

“Lyla, ada apa?”

“Ada orang cabul yang melihat tubuhmu. Mengapa Kak Bhela gak menutup tubuh kakak tadi?”

“Aku gak tau. Aku gak melihat siapa-siapa barusan.”

Lyla mendongak, memperlihatkan matanya yang memerah.

“Tapi dia ada di situ. Tubuhnya melayang dan tembus pandang! Awalnya ia ingin mengintipku tapi langsung menatap kakak!”

“Apa maksudmu, yang mengintip adalah hantu?”

Lyla mengangguk. Dari tatapan matanya nampak perasaan benci dan jijik kepada Shira.

“Iya! Hantu cabul!”

Bhela tersenyum masam. Tak tahu harus mengatakan apa.

“Seperti apa... rupa hantu yang kamu lihat?”

Mendengar pertanyaan Bhela, Lyla terdiam. Ia mengenal hantu tersebut. Dia adalah Shira Yashura, tunangan Bhela. Ketika ia memikirkan hal ini, pikirannya menjadi rumit.

“Lyla?”

“Aku gak tau. Huu huuuu.... aku gak tau....” Lyla tak ingin menjawabnya. Ia kembali menenggelamkan wajahnya ke dada Bhela dan menangis tersedu-sedu lagi.

Ia tak bisa mengatakan kepada Bhela kalau tunangannya sudah menjadi hantu. Empat hari yang lalu, mereka melihat pemuda itu mengalami kecelakaan yang sangat memprihatinkan. Kabarnya selama empat hari ini ia tak sadarkan diri.

Apa Shira Yashura sudah benar-benar mati? Apa dia sudah menjadi hantu?

Apa setelah menjadi hantu, ia memanfaatkan situasinya untuk memuaskan nafsunya mengintip gadis mandi seperti ini? Sampai-sampai ia dan Kak Bhela yang menjadi korbannya?

Memikirkan hal itu, Lyla terus-menerus menangis tersedu-sedu.

“Cup cup cup...” Bhela mengelus-elus punggung Lyla dengan lembut untuk menenangkannya.

***

Di malam yang sama, seekor elang raksasa turun di dekat gerbang kediaman Keluarga Malikh.

“Nek Sari, kita sudah sampai di Desa Badril,” kata pemuda yang mengantarkan Sari Malikh dan Lharu Yashura.

“Terima kasih,” nenek itu sambil turun dari elang.

Kakek Lharu juga ikut turun. Pemuda itu melihatnya, kemudian cepat-cepat berkata:

“Kek Lharu, apa Kakek ingin diantarkan ke depan gerbang Keluarga Yashura?”

Jarak antar Keluarga Malikh dan Keluarga Yashura tak terlalu jauh. Tapi bagi pemuda itu, mengantarkan sampai akhir mantan orang nomor satu kuilnya adalah sebuah kewajiban.

Kakek Lharu hanya menggeleng sambil tersenyum. “Aku akan mengunjungi Keluarga Malikh dulu. Kamu kembali saja ke Moon Temple.”

Nenek Sari tersenyum senang sekali mendengar itu.

“Kalau begitu saya permisi dulu,” pemuda itu terbang lagi dengan burung elangnya, melayang pergi dari Desa Badril.

Kakek Lharu dan Nenek Sari berjalan sebahu, menuju gerbang Keluarga Malikh.

Saat orang yang menjaga gerbang melihat sepasang kakek dan nenek mendekat di malam itu, ia mencondongkan obornya untuk memberikan cahaya kepada dua sosok pendatang itu.

“Siapa? Ada urusan apa dengan Keluarga Malikh?” tanyanya.

“Namaku Sari Malikh. Baru saja pulang kembali ke Desa Badril,” jawab nenek itu sambil tersenyum.

Mendengar nama Sari Malikh, penjaga itu langsung tercengang.

“Nenek... Nenek Sari?” kepalanya langsung hampa. Sari Malikh, di keluarganya, adalah sebuah nama yang sangat tinggi, hampir menjadi legenda. Konon katanya, ia adalah sebuah sepuh di sebuah fraksi desa tingkat satu yang sangat jauh. Bahkan fraksi itu sangat kuat, sampai-sampai anggota keluarga menjadi ragu apakah fraksi ini benar-benar ada.

Nenek Sari tak pernah pulang ke desa ini selama puluhan tahun. Tapi namanya tetap dikagumi oleh Keluarga Malikh secara turun-temurun.

“Cucu-cucuku. Aku kembali,” katanya ketika banyak anggota keluarga yang menyambut kedatangannya.

Saat itu, Keluarga Malikh menjadi heboh.

“Nenek Sari pulang! Nenek Sari pulang!”

“Jadi Nenek Sari benar-benar masih hidup? Apa ini kenyataan?!”

“Nenek Sari satu-satunya anggota Keluarga Malikh yang berhasil di dunia ini. Menjadi sepuh sebuah fraksi yang sangat kuat.... adalah mimpi untuk generasi-generasi berikutnya!”

Semua anggota Malikh, sebenarnya tak tahu seberapa besar Moon Temple. Mereka hanya mendengar cerita dari salah satu sepuh keluarga yang pernah menjadi murid di sana, yang hanya bisa masuk karena koneksinya dengan Nenek Sari.

Semua anggota keluarga melihat sosok nenek ini dengan kekaguman dan rasa bangga. Dari muda dan tua. Semuanya sangat hormat kepada Nenek Sari.

“Eh? Siapa kakek yang di sebelah Nenek Sari?”

“Entahlah.”

“Apa dia juga seorang sepuh seperti Nenek Sari juga?”

“Sepertinya bukan. Lihat saja, mukanya kampungan sekali.”

“Mungkin dia pelayan yang mengikuti Nenek Sari dari fraksi itu?”

Tak ada yang melihat Kakek Lharu dengan kekaguman yang sama dengan Nenek Sari. Ia bukanlah anggota Keluarga Malikh, jadi tak ada yang mengenalinya.

Bahkan hampir semua dari mereka salah paham dengan Kakek Lharu. Pasalnya, penampilan Kakek Lharu, tanpa seragam Pendeta Tingginya, mirip sekali dengan kakek yang selalu mencari kayu bakar di kaki gunung.

Kakek Lharu, dengan level-nya yang sangat tinggi, mampu mendengar suara sekecil apa pun. Jadi ketika mereka mendengar obrolan orang-orang itu, ia hanya tersenyum pahit.

“Nenek Sari, kami mohon segera masuk dan beristirahat. Ruangan terbaik sudah kami siapkan!”

Anggota Keluarga Malikh mengantarkan Nenek Sari ke ruangan terbaik yang bisa ditawarkan Keluarga Malikh. Mulai sekarang, ia adalah orang nomor satu Malikh. Semua, mulai dari anak kecil hingga Dewan Besar Keluarga, harus membungkuk hormat kepadanya.

Anggota keluarga juga mengantarkan Kakek Lharu ke ruangannya sendiri. Kakek Lharu mengikuti mereka dan tak ingin mengganggu reuni Nenek Sari dengan keluarnganya.

Tapi sialnya, Keluarga Malikh mengira kakek ini benar-benar pelayan Nenek Sari.

“Kami kehabisan kamar tamu. Jadi maaf, kami mohon untuk bersabar tinggal di sini,” kata seorang pelayan mengantarkan Kakek Lharu ke sebuah gudang berdebu. Ia hanya memberikan kakek itu selimut dan bantal, kemudian pergi begitu saja.

Kakek Lharu adalah seorang kakek yang sabar hatinya. Jadi ia diam saja menerima selimut dan bantal itu.

***

Di sebuah ruang tamu malam itu, sepuh-sepuh dan Dewan Keluarga lain berkumpul untuk menjamu Nenek Sari. Mereka mengeluarkan teh terbaik yang disimpan bertahun-tahun hanya untuk malam ini.

“Aku gak melihat Ghalim. Di mana cucuku berada?” tanya Nenek Sari. Sebenarnya, ia tahu cucunya tak akan muncul di ruangan ini. Tapi ia sengaja menanyakan dan menatap dingin para Dewan Keluarga Malikh.

“Ini... Kepala Keluarga sedang jatuh sakit beberapa waktu lalu...” kata seorang Sepuh menjelaskan dengan nada terpaksa dan sebuah senyum masam.

Nenek Sari mengernyitkan dahinya. Ia menoleh ke arah Ibu Bhela.

“Benarkah? Apa suamimu benar-benar jatuh sakit?”

Ibu Bhela tak bisa menahan tatapan bencinya kepada para sepuh keluarga. Terutama kepada seorang pria yang berasal dari Blackwood. Ia juga ada di ruangan itu karena sebelumnya mengantarkan Lyla Blackwood menginap di sini.

“Sakit? Semua itu bohong. Blackwood meracuni Ghalim sampai gak bisa bangkit dari kasurnya!”

Anggota keluarga dan sepuh lain langsung terkejut. Istri Kepala Keluarga Malikh bisa dengan ganasnya menuduh Keluarga Blackwood di depan Nenek Sari. Tapi ketika melihat tatapan dingin Nenek Sari kepada pria Blackwood itu, semua orang tahu gelombang baru akan menyapu bersih Keluarga Malikh malam ini.

“Fitnah! Jangan asal fitnah! Keluarga Blackwood gak pernah melakukan hal nista seperti itu!”

“Oh? Benarkah? Kalau begitu, mengapa gak kita semua bersama-sama memeriksa keadaan Ghalim sekarang?” usul Nenek Sari.

Semua orang, yang dalam hati mereka menanam rasa curiga kepada Blackwood langsung mengangguk setuju. Satu orang yang ada di ruangan itu, wajahnya langsung menjadi hitam padam.

“Nenek Sari bukanlah orang yang bisa dilawan oleh Blackwood begitu saja. Setelah ini, mereka akan menciut dan membersihkan barang bukti,” katanya cemas dalam hati. Ia adalah Sepuh yang waktu itu menerima perintah dari Nyonya Blackwood untuk meracuni Kepala Keluarganya sendiri. Saat itu, hatinya menjadi kacau. Ia tahu nasibnya sendiri menggantung di tepi jurang saat ini.

Nenek Sari memimpin yang lain menuju ruangan Ayah Bhela beristirahat. Ketika nenek itu melihat cucunya, hatinya seperti diremas-remas. Kekuatan hidup Ghalim sudah meredup. Beberapa saat lagi ia akan meninggal bisa kapan saja. Dari wajahnya tak terpancar semangat sama sekali.

“Ghalim... apa yang terjadi padamu?” suara Nenek Sari bergetar. Walaupun ia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi kondisi cucunya, tapi tetap saja ia hampir pingsan di tempat.

Ghalim Malikh tak menjawab. Ia terkejut mengapa neneknya bisa berada di sini.

“Nenek Sari, Anda bisa melihat, bukan? Betapa kejamnya Blackwood ke keluarga kita. Suamiku harus hidup seperti ini, semua karena diracuni oleh Blackwood sialan itu!”

Pria Blackwood tak bisa berkata apa-apa untuk berdalih. Ia tahu jika ia bersikap demikian, situasi akan menjadi lebih parah untuknya.

“Bagaimana, Nenek Sari, apa Anda bisa merasakan apa yang salah kepada Kepala Keluarga?” tanya seorang Sepuh tua yang posisinya netral di Keluarga Malikh.

Walaupun hatinya melemah, Nenek Sari tak kehilangan akal sehatnya. Ia memeriksa tubuh cucunya. Tapi wajahnya menjadi tenggelam. Ia mengerutkan dahi, berusaha konsentrasi, tak menemukan apa pun.

“Mustahil!” desisnya.

Semua orang yang melihat hal ini menjadi canggung. Istri Ghalim sendiri, wajahnya menjadi kecewa luar biasa.

Tapi Nenek Sari tak ingin menyerah. Ia menoleh kepada seorang anggota keluarga, memberi perintah: “Cepat panggilkan kakek yang bersamaku tadi!”

Orang yang disuruh tak ingin membuat Nenek Sari marah. Cepat saja ia gesit keluar ruangan dan membawa seorang kakek kurus beberapa saat kemudian.

“Lharu! Tolong periksa keadaan cucuku ini!” pinta Nenek Sari dengan nada sedih dan juga marah. Ia tak kuat lagi melihat cucunya menderita seperti ini.

Lharu mengangguk. Dia mendekat ke Ayah Bhela yang tengah terbaring.

Ayah Bhela, ketika melihat kakek ini mendekat, langsung saja mengenali statusnya dan ekspresi di wajahnya langsung berubah penuh hormat.

“Pendeta Tinggi!!!” serunya terkejut. Dalam tidurnya, ia berusaha menggerakkan kepala untuk memberi hormat, tapi dengan santai Kakek Lharu melambaikan tangannya sebagai sinyal kepada Ghalim untuk tak perlu terlalu formal.

“Aku sudah bukan Pendeta Tinggi lagi,” katanya. “Aku melihatmu bersama Jhuro dulu. Sekarang kamu sudah banyak berubah.”

Kakek Lharu tertawa, jelas ia meledek kondisi Ghalim yang sangat memperihatinkan. Hal ini membuat Nenek Sari menjadi kesal.

“Lharu! Seriuslah!” ketusnya.

“Oh, ya, maaf, maaf,” katanya sambil tersenyum. Ia santai karena pengalaman. Dengan pengalamannya sebagai seorang petarung hebat lebih dari seratus tahun, mengecek racun adalah hal sepele baginya.

Tapi ketika ia melihat dengan teliti kondisi Ghalim, wajahnya menjadi terkejut. Ekspresinya semakin lama semakin tenggelam seiring dalamnya ia memeriksa kondisi pria paruh baya ini.

Kakek Lharu menutup matanya, menghembuskan napas panjang. Kemudian saat ia membuka matanya, Kakek Lharu melihat ke arah Nenek Shari, dan berkata: “suruh semua orang yang ada di sini cepat keluar!”

Nenek Sari cepat saja mengerti ada yang salah ketika ia melihat wajah Kakek Lharu yang tiba-tiba saja menjadi sangat serius. Ekspresi itu sangat jarang terlihat di wajah Lharu.

“Semuanya keluar!” seru Nenek Sari. Kemudian ia melihat ke arah istri cucunya. “Bagaimana dengan istrinya?”

Kakek Lharu melihat sekilas wanita itu. “Dia keluar juga.”

Setelah itu, ruangan menjadi kosong. Kecuali Ghalim, Nenek Sari, dan Kakek Lharu, tak ada orang lain di sana.

“Namamu Ghalim, kalau gak salah?” tanya Kakek Lharu berbasa-basi.

Ghalim mengangguk. “Nama saya Ghalim Malikh. Nenek Sari lah yang memberi nama saat saya lahir.”

Kakek Lharu melihat ke wajah Nenek Sari yang sedih, kemudian kembali melihat ke Ghalim dengan tatapan tegas.

“Jadi sekarang, kamu bisa mengatakan kepadaku. Mengapa bisa ada racun Jhuro ditubuhmu?”

Ghalim sudah menduga hal ini. Jadi ia diam sesaat. Sedang Nenek Shari, ketika mendengar racun Jhuro, tubuhnya gemetar hebat.

“Ini adalah racun Jhuro. Gak salah lagi. Poison elemental digabung dengan chaos elemental dan bisa menyatu tanpa konflik sama sekali. Efeknya sangat sunyi, tapi mematikan!” jelas Kakek Jharu.

“Mengapa Jhuro bisa meracuni cucuku?” seru Nenek Sari yang tak tahu harus merasakan apa.

“Ini... bukan salah Jhuju sama sekali,” kata Ghalim pasrah.

“Kamu bisa mengatakannya. Siapa yang bertanggung jawab,” kata Kakek Lharu.

“Tentu saja Blackwood. Mereka ingin cepat-cepat membatalkan pertunangan Bhela dengan Shira. Tapi aku selalu menolak,” katanya, kemudian ia melanjutkan. “Untuk mengapa Blackwood bisa mendapatkan racun Jhuro... orang yang bertanggung jawab... adalah Nura Blackwood!!!”

“Nura Blackwood. Sudah kuduga,” kata Kakek Lharu. Ia mengenal orang yang dimaksud. Ia pernah bertemu dengannya sekali, dan cepat saja pria itu meninggalkan impresi buruk di benak Kakek Lharu.

“Siapa sebenarnya Nura Blackwood ini? Orang Blackwood mana yang berani macam-macam dengan keluargaku?!”

“Sari, bersabarlah. Sebelumnya Lharu gak bilang siapa-siapa dia diracuni dengan racun Jhuro, bukan? Itu karena dia gak ingin memperumit masalah lagi.”

Nenek Sari melihat ke arah Ghalim dengan tatapan marah. “Ghalim, apa yang sebenarnya terjadi?”

“Nenek Sari. Jika Blackwood saja yang membully keluargaku, aku pasti akan membalas mereka. Tapi jika Nura Blackwood ikut campur dalam masalah ini... aku lebih baik diam,” katanya pasrah.

“Beberapa tahun yang lalu, Nura berkhianat. Ia mencuri racun-racun rahasia Jhuro dan kabur. Jhuro dan Ozhimon mengejarnya, tetapi mereka kembali tanpa hasil, bahkan Ozhimon luka berat waktu itu!” lanjut Ghalim menjelaskan.

“Itu wajar sekali. Sebenarnya dia monster. Bahkan jika itu aku, aku akan berpikir dua kali untuk mencari masalah dengan bom waktu itu!” kata Kakek Lharu.

“Siapa sebenarnya Nura Blackwood ini?” tanya Nenek Sari yang tak tahan lagi menahan emosinya.

“Kamu mengenalnya,” kata Kakek Lharu. “Nama aslinya adalah Nura Blackwood. Tapi dunia mengenalnya sebagai.... Nura Gilmour!”

“Nura Gilmour!!!” mendengar nama itu, tubuh Nenek Sari terasa seperti tersambar petir. “Buronan nomor satu dunia bawah tanah Benua Tiramikal, Necromancer yang paling mengerikan! Nura Gilmour!”

Kakek Lharu mengangguk. Ia sudah menyadari, masalah yang dialami Keluarga Yashura dan Keluarga Malikh lebih parah daripada dugaannya. Bahkan jika ia dan Sari ikut campur, belum tentu masalah akan menjadi padam.

***

Malam itu, di sebuah tempat berpasir, sebuah sosok penuh luka berdarah-darah tengah berlari di bawah sinar rembulan.

“100% poison resistance!!! 100% chaos ressistance!!! Jadi selama ini kamu bersiap-siap untuk membunuhku!!!” seru sosok itu penuh dendam.

Sosok penuh luka itu, bukan lain adalah Jhuro Yashura. Selama beberapa hari ini, ia mengalami kekalahan telak melawan bantuan yang datang dari Blackwood.

“NURA!!! JIKA AKU SELAMAT DARI INI, AKU AKAN MEMBUNUH SEMUA ANGGOTA KELUARGA BLACKWOOD!”

Teriaknya kepada langit malam. Tapi tak ada yang mendengarnya. Yang hanya ada di situ hanyalah dia seorang... dan juga tujuh belas mayat berjalan yang mengejarnya pelan dari belakang.

Jhuro berlari jauh lebih cepat dari mayat-mayat berjalan itu. Tetapi, tanpa air dan makanan, ia tak tahu seberapa lama ia bisa bertahan di padang pasir ini menahan kejaran mayat-mayat yang dibangkitkan Nura.

Situasi juga sangat kacau di kamp tempat para petarung berkumpul sebelumnya. Tenda-tenda terbakar, suara logam saling berbenturan dan pertempuran terjadi di mana-mana.

Tak banyak dari para petarung kabur ketakutan. Suara menjerit sangat tak asing mengisi udara malam. Salah seorang berteriak sekuat tenaga ketika sebuah mayat berjalan memakan daging lehernya.

Saat ini, dua Berserker dari Fireaxe Giant Clan tengah menghadapi lima mayat berjalan sekaligus. Mereka berusaha sekuat tenaga, tetapi tak kunjung mengendalikan pertempuran.

“Apa yang terjadi, ketika sialan-sialan ini masih hidup, mereka bukanlah apa-apa. Mengapa setelah bangkit lagi dari kematian mereka bisa sekuat ini?!” geram salah satu Berserker itu.

“Mayat berjalan tiba-tiba bangkit di kamp ini. Lama-kelamaan jika begini terus, kita akan dihabiskan! Kita harus bersatu dengan yang lainnya!”

Situasi yang sama juga terjadi di mana-mana. Lebih dari separuh petarung di kamp itu sudah tumbang dan bangkit kembali menjadi mayat hidup, langsung terjun masuk ke pertempuran dan membuat para petarung lama kelamaan kalah jumlah.

Saat ini, sebuah sosok kurus pucat berjubah hitam tengah duduk jauh dari kamp. Tiga sosok berjalan ke arahnya.

Sosok di tengah tengah terluka parah dan tak bisa bebas dari kekangan dua sosok lainnya.

Ketika mendekat, barulah jelas terlihat bahwa sosok terluka ini adalah Hale Blackwood. Sedang dua sosok yang membawanya adalah Knight dan Ranger yang datang bersamaan dengan sosok berjubah hitam ini.

Mereka adalah bantuan yang datang dari Blackwood. Tapi rupanya, sekarang mereka berdua sudah menjadi mayat hidup yang dikendalikan.

“NURA!!! Apa maksudmu mengkhianati kami seperti ini?!” raung Hale ketika melihat wajah sosok berjubah hitam ini.

“Mengkhianati? Mengkhianati apaan? Semenjak awal, aku gak pernah satu kubu dengan kalian.”

“Tapi kamu adalah seorang Blackwood! Mengapa kamu menikam keluargamu dari belakang?!”

Bukan saja Blackwood, bahkan dilihat dari keadaan, Nura berencana menikam semua orang yang ada di sini dari belakang dan memasukkan mereka ke dalam daftar pasukan mayat berjalannya.

“Blackwood? Aku sudah lama membuang nama itu. Sekarang, kamu bisa memanggilku dengan nama Nura Gilmour.”

“Mengapa.... mengapa kamu membuang nama Blackwood begitu saja?”

“Karena Nura Gilmour lebih keren kedengarannya ketimbang Nura Blackwood!!!” jawab Nura dengan nada percaya diri.

“Kamu!!!” Hale tak bisa menjelaskan amarahnya saat ini. Dendam yang ia pikul kepada sosok pucat ini, sudah sampai ke langit ke tujuh!

“Jangan kebanyakan ngomong. Aku membutuhkanmu hidup-hidup untuk bisa kujadikan mayat eliteku,” kata Nura bangkit berdiri. Kemudian ia menaruh telapak tangannya ke dahi Hale. Hale yang ingin memberontak langsung dipatahkan tangannya oleh mayat yang dikendalikan Nura.

“AAAARRRRGGHHHH!” raung Hale kesakitan.

Tak lama kemudian, kesadaran Hale menghilang. Pancaran matanya tergantikan oleh sebuah aura yang sangat gelap. Ia melihat ke arah Nura, tuannya saat ini. Kemudian bangkit dan berkata:

“Master. Berikan perintah untukku!”

Nura tersenyum puas mayat elitenya yang satu ini bisa berbicara. Di masa lalu, ia tak memiliki kemampuan ini.

“Jhuju rupanya lebih licin daripada sebelumnya,” kata Nura tenang. “Pergilah keluar. Bawa Jhuju hidup-hidup ke depanku.”

Mayat Hale mengangguk dan berkata: “Masalah kecil. Tolong Master tunggu sebentar. Hamba akan melaksanakannya secepat mungkin.”

Ia langsung bergegas pergi.

Nura melihat ke arah dua mayat yang lain. “Ikuti dan bantu dia. Jhuju gak akan tumbang semudah itu.”

Dua mayat yang lain juga ikut pergi. Nura duduk lagi dan memejamkan matanya. Berkonsentrasi untuk mengendalikan mayat-mayat yang tengah melakukan pembantaian di kamp para petarung.

***

<<PREVIOUS CHAPTERNEXT CHAPTER>>