Spirit Conductor: Book 2, Chapter 27



Chapter 27 - Kakek Lharu?

Jiwa Shira tengah melayang di depan kediaman Shira.

Ia berhenti sejenak. Merenungi puluhan tahun tak melihat tempat ini.

“Aku kembali,” katanya.

Saat ia melewati sebuah ruangan, tak sengaja Shira mendengar keluhan sedih pamannya, Shuro Yashura.

“Baru kemarin Shira menjadi harapan keluarga. Sekarang kondisinya seperti ini. Calon gurunya juga pergi tanpa kabar,” ia terus-menerus berkeluh kesah.

Shira melihat ke arah ruangan itu. Dua orang pria tengah duduk melihat bulan sambil meminum kopi. Mereka adalah Shuro dan Yulong, kepala pembantu di rumah itu.

Shuro terus-menerus mengeluh kepada bulan malam ini. Yulong hanya mendengarkan. Ia menoleh ke arah Shira. Yulong terkejut dan sekilas ekspresi di wajahnya terlihat sangat senang sekali dan juga lega. Tetapi wajahnya kembali menjadi datar, cepat-cepat ia membuang muka dan bersikap seolah tak bisa melihat Shira.

Melihat sikap Yulong, Shira hanya bisa mengangkat alisnya. Yulong mampu melihatnya? Shira sudah lewat beberapa orang tadi tapi tak ada yang bisa melihatnya dalam wujud ini selain gadis kecil temannya Bhela Malikh.

Tapi Shira Yashura tak ingin memikirkan hal itu lebih jauh lagi. Ia melayang kembali ke kamarnya.

Di sana, ada Mila yang tengah mengusap tubuh Shira dengan kain basah. Selama empat hari tak sadar, Mila selalu mengurus Shira tanpa ada tanda semangat di wajahnya.

Gadis yang tadinya selalu galak kini jinak seperti anak kucing.

Shira menjadi merasa sedih. Selama puluhan tahun ia tak melihat kakak sepupunya. Semenjak kecil, ia selalu dijaga dan diurus oleh kakak sepupunya ini. Tapi sekarang, setelah jiwanya melewati puluhan tahun terjebak di laut, ia hanya bisa merasa bersalah dan pedih dalam hati.

“Aku gak akan mengecewakanmu mulai saat ini,” katanya pelan di dekat telinga Mila. Tapi gadis itu tak bisa mendengarnya.

Malam itu sangat dingin. Entah mengapa Mila merasakan angin malam menghembus dari luar, membuat bulu kuduknya menggigil.

Ia menoleh, ke arah Shira. Tapi tak melihat apa-apa.

Shira masuk kembali ke dalam tubuhnya.

Walaupun ia merasakan seluruh tubuhnya terasa sakit, Shira berusaha sekuat tenaga membuka kelopak matanya. Hal yang paling pertama yang ia lihat adalah Mila yang langsung menumpahkan air mata.

Shira sadar kembali!

Ia tersenyum berusaha untuk menenangkan tangisan Mila. Shira sadar, penungguannya selama lebih tiga puluh tahun di laut tak sebanding dengan empat hari rasa khawatir kakak perempuannya ini.

“Kak Mila, aku pulang.”

“Mm. Jangan pergi lagi.”

***

Racun yang ada ditubuh Ghalim Malikh bukanlah racun biasa. Kebanyakan, Healer, Alchemist, ataupun Specialist yang menganalisa tak pernah bersentuhan dengan racun berlemen poison dan chaos.

Racun dengan dua elemen sebenarnya banyak beredar. Racun api. Racun es. Gas beracun. Selain memiliki daya rusak yang lebih efektif, terkadang racun seperti ini memiliki efek lain yang mengerikan. Seperti racun es yang akan menyegel dan menutup mana sphere korbannya, memastikan kematiannya dalam pertempuran jika tak ada yang melindunginya.

Yang paling jarang muncul adalah, racun dengan tiga elemen, serta racun dengan elemen chaos.

Alasan racun dengan tiga elemen jarang muncul adalah karena yang dapat meracik racun seperti itu hanya bisa dihitung dengan jari di dunia ini. Sedang, racun dengan elemen chaos sendiri, karena memang pengguna elemen chaos juga sangat jarang.

Terkecuali bagi para Berserker. Walaupun jarang dari mereka adalah pengguna elemen afinitas chaos, tetapi skill set yang didapatkan dari kelas Berserker memiliki efek yang mirip dan juga Berserker akan sangat diuntungkan jika mampu mengakses buff berelemen chaos.

Ghalim, pada dasarnya, adalah seorang Berserker. Selain sering berurusan dengan racun Jhuro, ia juga tak asing dengan buff serta debuff yang bersifat elemen chaos.

Karena itu, dia memiliki sedikit ketahanan terhadap racun Jhuro yang ada di tubuhnya. Jika itu orang lain, mental mereka akan hancur oleh racun chaos dan mereka akan menjadi gila. Setelah mental mereka runtuh, otomatis sistem kekebalan tubuh akan melemah drastis dan pada saat itulah racun yang sebenarnya menyerang.

Saat Kakek Lharu melihat hal ini, ia sempat kagum kepada Ghalim. Dalam benaknya, Jhuro dan semua kawan-kawannya bukanlah orang biasa. Mereka sempat mendengar kisah petualangan dan prestasi mereka.

“Karena kamu adalah teman Jhuro, dan juga cucu dari Sari, aku akan mengusahakan untukmu tetap hidup,” kata Kakek Lharu, keluar dari kamar Ghalim bersamaan dengan Sari Malikh.

Setelahnya, Lharu menulis sebuah surat. Ia meminjam burung pengirim pesan Keluarga Malikh untuk mengirimkannya.

“Biar kubaca pesan itu,” kata Sari ketika Kakek Lharu hampir melepaskan burung tersebut.

“Gak apa-apa. Ini cuma surat biasa. Hehe.”

“Biar kulihat burungnya. Mungkin dia sedikit gak sehat.”

Kakek Lharu tak menolak. Membiarkan Nenek Sari mengambil burung pengirim pesan dan mencuri surat Lharu. Kakek itu hanya tersenyum masam ketika Nenek Sari membaca surat tersebut.

“Kamu meminta bantuan Grandmaster Alchemist Fang untuk meminta obatnya?” seru Nenek Sari.

“Yap.”

“Lharu!” gusar Nenek Sari. “Hutang budi dari seorang grandmaster sepertinya sangatlah berharga. Kamu jangan gunakan itu kepada orang lain selain keluargamu! Kamu... kamu... jika kamu melakukan ini aku gak bakal bisa membalasnya di kemudian hari.”

“Si kakek bau tanah itu sudah terlalu lama hidup. Kalau hutangnya gak kutagih bisa mati duluan dianya!”

“Tapi tetap saja ini terlalu berlebihan! Kamu bisa meminta Grandmaster Alchemist Meng untuk menyelesaikan masalah buyutmu yang level-nya nyangkut itu.”

“Hoho. Anaknya Jhuro? Aku sudah punya rencana buat dia. Kamu gak usah dipikirin lagi. Temani aku mencari bahan herbal besok dan kita impas.”

Nenek Sari mengangguk. Ia tak berkata apa-apa lagi. Langsung saja ia lepaskan burung pengantar pesan itu.

“Sekarang apa yang akan kamu lakukan. Apa kamu sudah siap pulang ke Keluarga Yashura?”

Kakek Lharu tersenyum pahit. Selama ini ia merasa gugup untuk pulang ke keluarganya. Itulah mengapa ia mengikuti Nenek Sari diam di Keluarga Malikh sebentar.

“Bagaimana jika aku mengantarkanmu ke sana?”

“Gak usah. Kalau pulang aku gak mau setengah-setengah. Jabatanku cuma di masa lalu. Aku ingin hidup tenang seperti kakek biasa mulai dari sekarang. Kalau kamu ikutan ntar jadi rumit situasinya.”

Melihat betapa hebohnya kedatangan Nenek Sari di Keluarga Malikh, Kakek Lharu hanya bisa tertawa dalam hati. Puluhan tahun lebih ia memiliki status yang sangat tinggi di Moon Temple dan ia sudah terbiasa dilakukan seperti Nenek Sari lagi.

Tapi buat apa dihormati bila kau tak pernah merasakan kedekatan dengan anak cucumu?

“Aku sudah tua. Gak ingin terlibat dalam masalah seperti itu lagi. Hanya saja aku ingin setiap hari bermain dengan buyut-buyutku. Aku inginnya mereka menyayangiku sebagai seorang kakek. Bukannya menyeganiku sebagai seorang sepuh!”

Mendengar hal itu, Nenek Sari terdiam. Kakek Lharu selalu kesepian seumur hidupnya. Hanya Nenek Sari yang menemaninya. Istrinya sudah lama meninggal dan anak-anaknya pun menyusul. Ketika cucu-cucunya lahir, ia sudah lama dilupakan oleh Keluarga Yashura.

Hidup sederhana, itulah yang diinginkan Kakek Lharu sekarang. Itulah alasannya pensiun dari jabatan Pendeta Tinggi Moon Temple, tentu saja alasan lainnya karena Moon Temple sudah hampir menjadi puing-puing sekarang.

Tak lama kemudian, Kakek Lharu pergi dari kediaman Keluarga Malikh. Tubuh kurus dan tuanya berjalan pelan di tirai kegelapan. Sesekali ketika melewati bangunan di desa itu, ia mendesah karena tak ada yang ia kenali dari tempat ini.

Akhirnya ia tiba di depan gerbang Keluarga Yashura. Ia tersenyum ketika melihat penjaga gerbang yang mengerutkan dahi melihat sosoknya mendekat.

“Siapa? Ada urusan apa dengan Keluarga Yashura?”

“Namaku Kakek Lharu. Baru saja pulang kembali ke Desa Badril,” jawab Kakek Lharu sambil mempertahankan senyumnya.

“Kakek... kakek Lharu?!”

Kakek Lharu mengangguk, kemudian menatap nostalgia kediaman Yashura dan berkata, “cucu-cucuku. Aku kembali.”

Pada saat ini, muncul seorang lagi dari dalam. Ia menyapa penjaga gerbang yang berdiri di depan Kakek Lharu.

“Siapa itu?” bisiknya kepada si penjaga gerbang.

“Aku gak tau. Tapi namanya Kakek Lharu.”

“Mukanya mencurigakan. Jangan bilang kalau dia pengemis yang mau numpang di kediaman kita.”

“Awalnya kukira juga begitu. Ini sudah yang ketiga kalinya bulan ini.”

Dua orang itu berbisik-bisik. Tapi Kakek Lharu mendengarnya. Langsung saja wajahnya berubah gusar.

“Aku Kakek Lharu, seorang Yashura tulen. Panggil cucuku Shuro. Aku ingin menemui cucu dan buyutku sekarang juga!”

Dua orang itu terkejut. Kakek dari Kepala Keluarga mereka?

Kalau benar kakek ini memiliki status demikian dan tak sengaja mereka menyinggungnya, maka hari-hari mereka di Keluarga Yashura tak akan berjalan mulus lagi.

“Kakek Lharu, silahkan masuk! Aku akan mengabarkan kepada Kepala Keluarga Shuro kepulangan Anda!”

Salah seorang dari mereka bergegas masuk. Sedang Kakek Lharu diantarkan ke ruang yang biasanya digunakan untuk menjamu tamu.

Pada saat ini, wajah Shuro Yashura masih terlihat sedih. Seorang pria tergesa-gesa berlari ke arah Shuro.

“Kepala Keluarga, Kakek Lharu sudah pulang!” serunya.

“Kakek Lharu?” sebuah wajah bertanya muncul pada Shuro. “Siapa itu?”

***

Revisi 31 Maret 2017

<<PREVIOUS CHAPTERNEXT CHAPTER>>