Spirit Conductor: Book 2, Chapter 38



Chapter 38 - Elemen Kabut Ungu, Membuat Ada dari Ketiadaan

“Langsung naik lima level?” tanya Shira terkejut.

“Selamat Master!” kata Kabut Ungu memberi ucapan selamat lagi.

“Apa ini gak berlebihan? Aku takut berhutang terlalu banyak pada Raja Gunung.”

“Terlalu banyak? Lima level?” suara Kabut Ungu tak percaya mendengar kepolosan tuannya. “Master, lima level gak ada apa-apanya dengan afinitas elemen kabut ungu yang kuserap!”

“Memang apa bagusnya kabut ungu ini?”

“Coba salurkan mana menggunakan afinitas elemen kabut ungu Master sambil membayangkan sesuatu,” tuntun Kabut Ungu.

“Hm. Seperti ini?” Shira merasakan mana-nya terkuras habis, keluar melalui telapak tangannya membentuk kabut ungu yang berputar-putar pelan.

Kabut ungu itu berukuran dua kali lebih besar dari pada buah jeruk. Sepuluh detik berputar, kabut ungu tersebut memadat. Shira bisa merasakan bulu-bulu lembut tercipta dari kabut-kabut ungu tersebut.

“Ini...” Shira bisa merasakan bola bulu warna ungu tengah tertidur di telapak tangannya.

“Master, apa yang Master ciptakan?”

“Momon...” gumam Shira.

“Momon?”

“Temanku sewaktu umur lima tahun,” Shira lanjut bergumam dalam hatinya.

“Master... teman sewaktu umur lima tahun... ini...”

“Stop! Jangan omongin itu lagi,” Shira tak sengaja mengucapkan kalau ia baru saja menciptakan teman khayalannya sepuluh tahun yang lalu.

Kabut Ungu: “...”

Bola berbulu ungu di tangan Shira pelan-pelan membuka matanya. Shira menatapnya lekat dan hati-hati. Seperti melihat bayi peliharaannya membuka mata untuk pertama kali.

Momon melihat Shira dengan mata birunya yang bulat. Ia tak memiliki mulut, telinga, hidung, atau organ lain selain mata birunya. Tak memiliki sistem pencernaan, dan lainnya. Terutama pendengaran. Tapi ia merespons ketika Shira memanggil namanya.

“Momon... mulai sekarang namamu Momon.”

Makhluk bulat berbulu ungu itu mengerti ucapan Shira. Jadi ia mengedipkan matanya dan melompat-lompat riang, memperlihatkan bahwa ia sangat gembira telah diciptakan oleh Shira.

Tuing, tuing.

Momon melompat dari tangan Shira dan bermain-main di rumput hijau yang masih basah oleh embun pagi.

“Kabut Ungu, katakan padaku, apa Momon ini asli, bukan khayalan?” suara Shira gemetar karena saking semangatnya. Ia tahu potensi elemen kabut ungu sangat hebat saat Kabut Ungu menjelaskan padanya, tapi ia tak tahu akan sehebat ini.

“Sudah kujelaskan sebelumnya, kan? Afinitas elemen kabut ungu berhubungan dengan nyata dan tidak nyata. Ada di antara tiada. Walau kubilang sebelumnya kabut ungu memiliki kekuatan ofensif untuk menyerang mental musuh, tapi itu hanyalah potensi dasarnya. Membuat ada dari ketiadaan, adalah potensi kabut ungu yang sesungguhnya!”

Shira hampir ingin melompat-lompat seperti Momon karena saking kegirangan.

Tapi ia langsung diam ketika seorang anggota keluarga yang melewati kebun itu.

“Tuan Muda Shira,” seru anggota keluarga itu melihat Shira berdiri tegak tanpa kesusahan. “Tuan Muda... sudah sembuh?”

Shira yang bersama Kabut Ungu sangat gembira dan kekanakan kini sudah berubah. Ia selalu malu ketika ada orang lain dan sikapnya langsung diam, terlihat menjadi cuek dan dingin sekilas dari luar.

“Kakek Lharu yang menyembuhkanku,” kata Shira singkat. Ia kemudian melangkahkan kaki untuk mencari Momon dan menyembunyikannya sebelum ada orang lain yang melihat.

Berita bahwa Shira Yashura sudah sembuh cepat tersebar di kediaman Keluarga Yashura. Reputasi Kakek Lharu melejit pula, sebagai pemijat sakti yang bisa menyembuhkan patah tulang dalam semalam!

Cahaya pagi membasuhi lapangan khusus yang digunakan Keluarga Yashura. Anak-anak Keluarga Yashura tengah pemanasan sebelum berlatih ilmu pedang. Seorang pria paruh baya yang menjadi instruktur dan menguasai betul style pedang Keluarga Yashura, tengah membentak tegas anak-anak yang malas.

Di kejauhan, Kakek Lharu menonton dengan sebuah senyuman di wajahnya.

“Sekarang mereka sudah mengakui kehebatanku, saatnya menurunkan ilmu pedang yang kuasah seratus tahun lebih ke generasi baru Yashura!”

Kakek Lharu membusungkan dadanya. Ia sudah tua tapi posturnya tak pernah bungkuk. Memberikan kesan pada yang melihat bahwa ia adalah seorang ahli bela diri yang sangat berpengalaman.

Ia pun dengan gagah berjalan ke arah anggota Keluarga Yashura.

“Selamat pagi, cucu-cucu dan buyut-buyutku,” sapanya percaya diri.

Instruktur yang bertugas langsung membungkukkan dan mengangguk memberi hormat kepada Kakek Lharu. Ia sudah mendengar kehebatan kakek ini dalam menyembuhkan tuan muda keluarga. Rasa hormat terlihat tulus di wajahnya.

“Saatnya memperlihatkan pada cucu-cucu ini kehebatan style seorang Pendekar Pedang Kidal!” seru Kakek Lharu dalam hatinya. Kemudian ia menghampiri instruktur paruh baya itu.

“Sini, Cu, ayo kita latihan pedang bareng. Aku sudah lama gak latih tanding,” katanya sambil memungut pedang kayu yang sudah disediakan.

Instruktur itu melihat Kakek Lharu yang bersemangat sekali ingin melawannya. Ia kemudian berkata dalam hati; “Kakek Lharu padahal rakyat jelata. Aku sama sekali gak bisa merasakan aliran mana di tubuhnya. Bahkan kemarin-kemarin ada Specialist yang diam-diam ngecek status dan attribute-nya, sama sekali gak keluar apa-apa di ‘Status Window’. Apa gak kenapa-kenapa kalau dia tetap ngotot dan akhirnya cidera?”

Instruktur itu ragu dan tak berani melukai Kakek Lharu. Bukan saja karena dia adalah seorang senior renta, ia juga adalah kakek dari Kepala Keluarga Yashura. Kemarin malam ia juga menyembuhkan Tuan Muda Shira Yashura. Akan buruk akibatnya jika ia membuat Kakek Lharu cidera.

Tapi faktanya, ia sama sekali tak tahu alasan kalau Kakek Lharu tak terlihat sebagai petarung adalah karena perbedaan level yang terlalu tinggi. Specialist yang melakukan ‘Status Window’ padanya juga masih berada di awal level 30an. Jika perbedaan 20 level saja bisa menyamarkan isi dari skill ‘Status Window’, apa yang akan terjadi jika ia menggunakannya pada seorang petarung level 112?

“Kek Lharu, fisik kakek sudah tua. Lebih baik kakek menonton dari samping saja supaya lebih aman,” kata instruktur itu tulus menyarankan.

“Afha-afhaan enthe? Takut?” mata Kakek Lharu melotot dan urat menimbul di kening dan dahi. Rasa kesal mengumpul di dadanya karena sudah diremehkan lagi.

Sedang instruktur itu hanya bisa menarik napasnya. Kakek Lharu melempar pedang kayu dan ia menangkapnya dengan sigap.

“Kakek Lharu, maafkan aku...” katanya pasrah.

“Santai! Serang aku sebisamu, akan kuperlihatkan kehebatan Swordsman nomor satu di Benua Tiramikal ini!” kata Kakek Lharu dengan nada angkuh, sambil menggenggam pedang kayu di tangan kirinya.

Instruktur itu menerjang. Dalam hati, ia menyayangkan pose dan kuda-kuda Kakek Lharu yang berantakan dan tak terlihat mantap. Terlihat sama sekali seperti pemula.

Ketika jarak mereka sudah kurang dari tiga meter, instruktur itu langsung waspada. Bukan karena ia melihat Kakek Lharu sebagai ancaman tetapi karena sudah kebiasaannya bersikap demikian.

Ia memperhatikan gerak-gerik dan kuda-kuda Kakek Lharu. Sontak saja, sebuah gerakan kecil yang membuyarkan titik-titik pertahanan terlihat, instruktur tersebut langsung memperkuat genggaman pedang kayunya dan mulai mengayunkan serangan.

*swiish!*

Benar saja. Gerakan Kakek Lharu terlihat terlambat merespons ayunan pedang tersebut. Jadi ketika ia ingin menangkis ayunan pedang kayu si instruktur, ia tak bisa mendapatkan sudut dan genggaman yang benar.

“Terlalu banyak celah!” seru instruktur tersebut dalam hati, yakin kalau Kakek Lharu ini hanyalah amatiran.

Namun kemudian kejadian yang aneh terjadi.

Ayunan pedang instruktur tersebut tembus. Pedang kayu Kakek Lharu seperti hanya bayangan di situ.

Instruktur tersebut terkejut luar biasa. Tapi dalam waktu sepersekian detik, ia cepat menyadari hal yang lebih fatal lagi.

Kalau ayunan pedang kayunya tak tertangkis oleh Kakek Lharu, bukankah itu artinya serangannya akan langsung menghantam Kakek Lharu?

Ia terkesiap. Tak ingin melukai kakek ini. Tapi tak bisa menghentikan momentum ayunan pedangnya.

Dan pada saat itulah kejadian aneh terjadi lagi.

Ayunan pedang instruktur tersebut... menembus tubuh Kakek Lharu!

Saking terkejutnya, pikiran si instruktur buyar. Apa yang sedang terjadi? Apa aku sedang melihat ilusi? Pasti ilusi, kata si instruktur dalam hati. Tak mungkin ayunan pedang menembus tubuh padat seperti Kakek Lharu. Kecuali kalau ia adalah arwah gentayangan, instruktur tersebut tak bisa mempercayai apa yang ia dilihat matanya.

Instruktur itu tak tahu kalau ini semua adalah efek dari skill pasif ‘Water Flowing Style’.

Ia juga tak menyadari, gerakan pedang Kakek Lharu yang sebelumnya bukanlah untuk menangkis.

Melainkan untuk menyerang!

Jika ini pertempuran sungguhan, serangan fatal sudah semenjak awal dilancarkan oleh Kakek Lharu. Tapi dalam latih tanding ini, ia sengaja memperlambat gerakannya supaya anak-anak dari generasi baru Keluarga Yashura bisa melihat jelas gaya pedangnya.

Dan setelah itu, mereka akan tahu seberapa hebat artinya menjadi Petarung Pedang Kidal!

*swiish!*

Satu ayunan mantap dilancarkan oleh Kakek Lharu.

Instruktur itu termegap-megap. Ia tak merasakan sakit dari serangan Kakek Lharu. Tapi matanya, melotot melihat ke bawah.

Potongan tangan kanannya yang tengah menggenggam pedang kayu, jatuh ke tanah.

Semuanya melihat momen di mana serangan pedang kayu Kakek Lharu memotong tangan si instruktur.

Suasana menjadi hening.

Pagi yang cerah dan penuh semangat itu, tiba-tiba sehening kuburan.

“WWAAAAAAAAAKKKHH!!!”

Sontak saja pekikan panik memecah keheningan. Yang terjadi selanjutnya adalah, semua anak-anak yang ada di situ berlarian ketakutan.

Teriakan satu disambut teriakan yang lain. Ini baru pertama kalinya mereka melihat tangan seseorang terpotong begitu saja.

Sedang instruktur itu diam tak bergeming. Hatinya kalut, panca indranya sudah tak berfungsi lagi karena saking syoknya. Ia hanya bisa melototi tangannya yang tak bergerak di rumputan hijau.

“Afha-afhaan ini? Itu namanya skill, baru liat skill? Gak usah panik gitu buyut-buyutku! Woi, woi! Sini balik, lihat, tangannya gak berdarah! Gak kenapa-kenapa!”

Kakek Lharu panik melihat anak-anak yang ketakutan. Dengan niat menenangkan, ia berlarian mengejar anak-anak itu. Tapi yang terjadi adalah mereka menjadi semakin ketakutan, seperti dikejar-kejar oleh monster yang ingin memakan mereka.

Di antara kepanikan dan keributan, seorang pemuda berjalan pelan ke arah instruktur yang wajahnya sudah pucat pasi.

Pemuda itu melihat potongan di tanah. Seperti kata Kakek Lharu, tangan itu tak mengucurkan darah dan potongan dagingnya terlihat sangat halus sekali.

Dengan gerakan tak terburu-buru, ia memungut potongan tangan itu. Kemudian, mengukur-ukur sesaat.

Instruktur itu melihat pemuda itu memegang tangannya. Ia masih syok, tapi memaksakan diri memberi salam hormat. “Tuan Muda Shira!”

Shira menemukan sudut yang pas, lalu menempelkan potongan tangan itu ke lengan si instruktur dengan santainya.

Instruktur itu menarik napas dalam-dalam. Ia merasakan tangannya lagi. Dapat digerakan seperti sedia kala. Perasaan lega yang luar biasa membanjiri tubuhnya ketika ia menggerakan kembali jari-jari yang tadinya sudah lepas dari tubuhnya.

“Tangan Bapak gak apa-apa. Potongannya sangat halus, sampai-sampai bisa disambungkan kembali,” kata Shira menjelaskan.

Instruktur itu malah terkejut dan kebingungan. “Tapi, bukannya itu cuma mitos? Hanya bisa dicapai dengan menggunakan pedang terbaik dan tertajam di dunia ini?”

Shira tersenyum, melihat ke arah Kakek Lharu sambil berkata: “Seseorang gak perlu pedang terbaik untuk melakukannya jika dia adalah seorang Pendekar Pedang Kidal.”

Kakek Lharu sedang serius mengejar anak-anak yang ketakutan. Saking bersemangatnya, tak ada yang menyadari kalau Shira sudah menyambungkan kembali tangan si instruktur pedang.

Tuing. Momon keluar dari baju Shira dan bertengger di bawah dagunya. Momon juga melihat ke arah Kakek Lharu dengan matanya yang berwarna biru bulat.

“Master, ini saat yang paling tepat untuk mempelajari skill barusan dari Kakek Lharu!” seru Kabut Ungu di benak Shira.

Shira masih melihat Kakek Lharu yang keasyikan mengejar anak-anak di lapangan itu. Di buku-buku cerita yang sudah Shira baca, Pendekar Pedang Kidal terkenal dengan sikapnya yang melankolis, kelam dan apatis, walau terkadang sering membuat ulah.

Tetapi yang ia lihat saat ini adalah seorang Kakek Lharu, sisi Pendekar Pedang Kidal yang berbeda.

Jadi Shira hanya menggelengkan kepala dan berbalik pergi sambil berkata dalam hati pada Kabut Ungu:

“Bukan. Ini waktu yang paling gak tepat untuk mengganggu Kakek Lharu.”

***

<<PREVIOUS CHAPTERNEXT CHAPTER>>