Spirit Conductor: Book 2, Chapter 41



Chapter 41 - Keluarga Malikh Berkunjung Lagi

Nenek Sari tersenyum melihat Bony yang membantu Kakek Badril berjalan.

“Dia anak baik,” katanya pelan.

Wanita berkulit sawo di sebelahnya mendengar ucapan Nenek Sari. “Walaupun dia pemuda yang sering bermasalah, tapi jika membela orang-orang yang dia lindungi dia bisa sangat berani sekali,” wanita itu berkata sambil mengangguk-angguk kecil.

Mereka berjalan sebentar dan kembali ke kereta kuda sederhana yang menunggu di pinggir jalan. Di kereta kuda itu, duduk Bhela Malikh dan Lyla Blackwood.

Kereta kuda Malikh saking sederhananya, sama sekali tak tertutup seperti kereta kuda mewah. Jadi orang-orang bisa melihat siapa yang ada di dalamnya.

Bhela bertanya sedikit kepada Nenek Sari tentang hal barusan, yang dijawab santai dengan Nenek Sari. Kemudian, si wanita berkulit sawo mengendarai kereta kuda menuju ke kediaman Yashura.

Mereka melewati jalan utama desa. Jadi berpapasan dengan banyak kereta kuda lain.

Tak sengaja saat ini, kereta kuda Keluarga Malikh berpapasan dengan kereta kuda yang sangat mewah berlambangkan simbol Tatalghia Kingdom.

Pangeran Tatalghia yang tadinya diusir Nenek Sari ada di situ. Lewat bilik jendela kereta, ia melihat Bhela dengan tatapan penuh berahi. Ia juga melihat gadis lain di kereta itu, walau tak seperti yang ia senangi, tapi sang pangeran menginginkan Lyla untuk dijadikan santapan sampingan.

“Aku gak peduli siapa kamu dan siapa kenalanmu,” katanya ketika melihat Nenek Sari dan menyunggingkan seringai melecehkan. “Aku akan menikmati dua gadis yang ada di situ malam ini dan coba saja kalau kamu bisa menghentikanku.”

Ia menutup jendela kereta kudanya. Di dalam bilik kereta kuda itu hanya ada dua orang. Si pangeran dan seorang gadis muda berwajah cantik, tengah merundukkan kepala dan menahan isakan tangisnya sebisa mungkin.

Pangeran Tatalghia mendengus, ia menarik baju gadis itu dan menangkapnya dalam tubuhnya yang sudah memanas. Gadis itu terkejut, tapi menahan suaranya. Mata pangeran semakin menatap bejat, menerawang balik pakaian gadis sambil meraba-raba pelan lekuk tubuhnya.

“Akh!”

Saat itu baru si gadis tak bisa menahan air matanya. Ia makin menangis tersedu-sedu saat si pangeran menyelipkan tangannya ke dalam roknya.

Pengemudi kereta di luar mendengar tangisan itu, yang berikutnya diikuti oleh suara tamparan dan suara tangisan gadis berhenti. Yang muncul selanjutnya dari dalam kereta itu hanyalah suara napas berat terdengar samar-samar. Tapi air muka si pengemudi hanya datar tak berubah.

Kenyataannya, ini bukanlah kali pertamanya si pangeran berlaku sebagai bajingan. Dia sudah sering melakukannya di masa lalu. Sebagai seorang pangeran kerajaan terkuat di benua ini, siapa yang berani menentangnya?

Jadi yang ia lakukan hanyalah memilih gadis yang ia inginkan, dan selanjutnya akan ada orang yang memberikan gadis itu padanya. Sebagian ada yang menawarkan diri, ada yang dibujuk, tapi yang paling sering mereka diculik paksa. Bahkan tak jarang keluarga mereka sendiri yang menawarkan gadis mereka.

Dan biasanya keluarga yang ‘dermawan’ kepada sang pangeran selalui dianugerahi banyak harta dan tak jarang pula koneksi ke pihak bangsawan kerajaannya tergantung kualitas dan tampilan ‘barang’nya.

Sekarang, ia memilih Bhela Malikh dan juga temannya, Lyla Blackwood. Jika ini desa lain dan di tempat lain, siapa yang akan mencegahnya?

Tapi sekarang Guardian-nya khawatir tentang keberadaan Pendeta Tinggi Moon Temple. Bagaimana dengan si pangeran sendiri? Jujur saja, ia tak peduli tentang semua ini. Sebelumnya ia hanya mundur karena ia tahu sekeras apa pun ia memerintah para Guardian, yang mereka lakukan hanyalah membujuknya agar tetap mundur.

Jika ia tetap bersikeras sebelumnya, tentu saja ia akan kehilangan muka di depan orang-orang desa kumuh ini. Jadi ia mundur. Dalam hati marah pada Guardian-nya dan orang-orang desa yang menentangnya ini.

“Aku gak perlu memberitahu banyak orang soal ini. Cukup beberapa orang yang akan bertindak kalau diberi uang,” kata pangeran itu dalam hati sambil membuka bajunya. Kemudian menghisap keras bibir si gadis dan menjadi bajingan sesungguhnya di depan gadis yang malang itu.

***

Shira Yashura sedang bermeditasi di bukit dekat kediaman keluarganya. Walaupun dikatakan ia tengah bermeditasi, tetapi beberapa menit yang lalu ia bosan dan berbaring malas sejenak, pikirannya melayang kemana-mana. Baru setelah ia ingat harus berbuat apa, ia bermeditasi lagi.

“Master, Anda sedang gak bisa berkonsentrasi sekarang. Apa yang Master pikirkan?” tanya suara Kabut Ungu dalam benaknya.

“Gak ada,” jawab Shira.

“Tadi aku hanya basa-basi, Master. Sebenarnya aku tau apa yang Master sedang pikirkan.”

Shira tersenyum masam ketika mendengar Kabut Ungu. “Aku merasakan aura laut semakin dekat.”

“Berarti gadis itu sedang datang ke arah ini,” kata Kabut Ungu. Ia mengerti apa artinya aura laut bagi Shira.

Benar saja. Beberapa saat kemudian, sebuah kereta kuda berhenti di depan gerbang Keluarga Yashura.

Kehadirannya tak seperti sebelumnya. Tak ada rombongan atau iringan musik. Hanya sebuah kereta kuda kecil yang ditumpangi tiga orang dan seorang pengemudi.

Penjaga gerbang melihat Bhela di kereta kuda itu, langsung bingung apa yang sedang terjadi. Menurut sepemahamannya, Keluarga Yashura dan Malikh tengah bersitegang sekarang.

“Nenek Sari Malikh dan Bhela Malikh ingin menjenguk Tuan Muda Yashura. Mohon beritahu kepala rumah,” kata wanita berkulit sawo matang.

“Mohon tunggu sebentar,” kata penjaga gerbang itu bergegas masuk memberitahu kepala keluarganya.

Beberapa saat kemudian, dua orang pelayan dengan sangat sopan menuntun kereta kuda itu masuk. Bahkan ada orang yang menunggu Nenek Sari, Bhela dan Lyla di dalam.

“Silahkan masuk lewat sini,” kata orang yang menunggu itu.

Kemudian, Nenek Sari dan dua gadisnya di bawa ke ruang jamuan. Cemilan dan minuman sangat lengkap untuk dipilih.

“Nenek Sari. Perkenalkan, saya adalah Kepala Keluarga Yashura, Shuro Yashura. Dan dua kakek nenek ini adalah Dewan Besar Keluarga kami, Gharu Yashura dan Tilang Yashura,” kata Shuro ketika para tamunya tiba di ruangan itu.

“Perkenalkan, namaku Sari Malikh. Panggil saja Nenek Sari,” nenek itu tersenyum membalas. “Ini cucu buyutku, Bhela Malikh dan temannya, Lyla Blackwood.”

“Namaku Bhela Malikh. Bhela minta maaf atas kejadian sebelumnya. Kumohon agar Keluarga Yashura bisa memaafkan sikap Bhela yang gak pantas waktu itu,” katanya pelan dan nada teratur. Kemudian ia mengeluarkan selembar kertas dari dalam mystic bag¬-nya dan memberikan kepada Shuro. “Ini adalah sedikit bingkisan yang Bhela buat untuk Tuan Muda Yashura.”

Shuro menerima kertas itu dengan senyum di wajahnya. Walau ia masih merasa sedikit jengkel pada gadis ini, tapi dihadapan seorang Nenek Sari yang menjadi perbincangan seisi desa ini, wajah keras seperti banditnya melunak menjadi badut.

Kertas yang diberikan Bhela adalah sebuah tulisan kaligrafi yang bertuliskan “lekas sembuh”. Shuro, Gharu, dan Tilang, mereka semua memuji kaligrafi Bhela sampai semanis-manisnya, secara tidak langsung berharap bisa menjilat di hadapan Nenek Sari.

“Selain Bhela, Lyla juga punya bingkisan untuk Tuan Muda Yashura,” kata Nenek Sari melihat ke arah Lyla.

Tiga Yashura juga melihat ke arah Lyla, yang pelan-pelan mengeluarkan secarik kertas juga dari dalam mystic bag.

“Lyla menggambar untuk Tuan Muda Yashura. Semoga dia bisa tenang,” katanya sambil menunjukkan bingkisannya.

Shuro menerima masih dengan wajah tersenyum lebar. Ia melihat gambaran penuh warna-warni, namun kekanak-kanakan.

“Ini bagus! Ini bagus! Cowok dan cewek yang berpegangan tangan, mesra sekali,” katanya dengan nada memuji.

“Ini ungkapanku bahwa hubungan Kak Bhela dan Tuan Muda Yashura gak akan lepas begitu saja walau apa pun halangannya,” kata Lyla menjelaskan dengan polosnya.

“Oh, begitukah?” tanya Shuro mengangguk-angguk. Kemudian ia terdiam sejenak, kemudian bertanya, “Tapi kok, kenapa Shiranya bisa melayang gini ya?”

Bhela dan Nenek Sari mengangkat alis mereka. Sebelumnya, mereka tak tahu apa yang digambar Lyla untuk diberikan sebagai bingkisan. Tapi ketika mereka melihat gambaran itu, mereka melihat ke arah Lyla, bertanya lewat pandangan mereka apakah gadis mungil ini sedang bercanda.

Tapi Lyla hanya mengedipkan matanya polos. Ia merasa aneh dipandangi oleh orang-orang di ruangan itu, hanya bisa memiringkan kepalanya tak mengerti.

Gambaran itu adalah dukungannya untuk Bhela. Semenjak melihat arwah Shira, ia tak tahu harus prihatin atau tidak ke Keluarga Yashura. Jadi ia menggambar Kak Bhela yang tengah tersenyum berpegangan tangan dengan arwah Shira, lengkap dengan lingkaran kuning di atas kepalanya.

“Apa ini lelucon dari Keluarga Blackwood?” bisik Tilang Yashura ke kakek di sebelahnya, Gharu.

Gharu menggelengkan kepala. “Entahlah. Tapi lihat saja. Wajah anak ini polos sekali. Apa kamu yakin dia suruhan orang-orang Blackwood?”

***

<<PREVIOUS CHAPTERNEXT CHAPTER>>