Spirit Conductor: Book 2, Chapter 45



Chapter 45 - Mengejar Penculik

“Master, ada apa? Mengapa tiba-tiba menjadi panik?”

Kabut Ungu merasakan perbedaan emosi Shira yang melonjak setelah ia terbangun dari tidurnya. Langsung saja ia bertanya dengan nada cemas.

“Aku melihat Momon sedang mengejar penculik,” kata Shira sambil memakai bajunya.

“Siapa yang diculik?”

“Lyla dan Bhela,” jawab Shira. Ia baru mengenal nama Lyla hari ini, namun ketika ia menyebut nama itu adrenalinnya terpacu kalap.

“Apa mereka baik-baik saja?”

“Sekarang masih gak apa-apa. Tapi aku harus cepat mencari bantuan,” ucap Shira genting.

Usai berpakaian, ia berlari tergopoh-gopoh ke arah selatan kediaman Keluarga Yashura. Ia melewati banyak bangunan. Area tengah yang diisi delapan sampai sepuluh rumah adalah tempat tinggal anggota keluarga utama. Ia berlari keluar dari area itu, sama sekali tak berpikir untuk melaporkannya kepada pamannya Shuro.

Saat genting seperti ini, hanya ada satu sosok yang terbesit di kepalanya. Seseorang yang paling banyak memiliki pengalaman memimpin, sekaligus adalah petarung hebat yang bisa diandalkan. Hanya ada satu orang yang memiliki kriteria seperti itu di sini.

Kakek Lharu!

Seratus tahun lebih adalah Pendekar Pedang Kidal yang terkenal, dan generasi demi generasi menjadi pemimpin tertinggi fraksi tertinggi di Benua Tiramikal. Kakek Lharu!

Shira yakin, ketika Kakek Lharu mendengar situasi genting ini, Bhela dan Lyla akan segera terselamatkan!

“Kakek Lharu! Kakek Lharu!” Shira menggedor-gedor pintu sebuah rumah kecil yang letaknya agak terpisah dari anggota keluarga lainnya.

Pintu rumah itu terbuka, Kakek Lharu muncul dengan wajah yang sudah kelelahan. Matanya sudah sayu, jelas dari wajahnya terlihat suasana hatinya sedang kacau.

“Buyut Shira, ada apa malam-malam begini?”

“Kakek Lharu, tolong selamatkan Bhela dan Lyla! Mereka sedang diculik oleh dua orang gak dikenal!”

Mendengar itu, wajah Kakek Lharu berubah menjadi serius. Ia kemudian menatap lekat-lekat ke arah pemuda di depannya.

“Hmm. Bukannya itu nama tunanganmu dan temannya?”

“Ya.”

“Shira, kutanya padamu, kamu ini cowok apa cewek?”

Shira terbelalak. Pertanyaan tiba-tiba seperti ini, macam apa?

“Tentu saja aku cowok,” kata Shira.

Kakek Lharu mengangguk. Kemudian menunjuk ke arah belakang Shira.

“Coba hadap sana,” katanya pelan.

Shira tak bertanya apa-apa. Ia menurut dan membalikkan badannya.

Kakek Lharu mengangguk lagi dan berkata. “Kalau kamu cowok—”

Shira menunggu Kakek Lharu melanjutkan ucapannya dengan polos. Kakek Lharu, dari belakangnya, mengambil ancang-ancang... dan langsung menendang pantat Shira!

“—NGAPAIN KAMU MALAH DATANG KE SINI SEMFRUL!!!”

Shira terkejut ketika ia ditendang dan melayang tujuh meter sampai terguling-guling di tanah. Ia kemudian bangkit dan melihat urat nadi sudah menyembul semua di leher dan wajah Kakek Lharu.

“Cewekmu sendiri diculik dan kamu minta bantuan orang lain, masih berani nyebut dirimu cowok?!” raung Kakek Lharu.

Shira tak tahu harus bersikap bagaimana. Ia bisa melihat Kakek Lharu benar-benar kehilangan dirinya pada emosi. Ia tak tahu meminta bantuan ke Kakek Lharu malah membuatnya semarah ini.

“Jangan sampai aku melihatmu meminta bantuan pada Shuro! Kalau kamu gak bisa menyelamatkan cewekmu jangan sebut dirimu Yashura!” dengan begitu Kakek Lharu membalikkan badan dan membanting keras pintu rumahnya.

Shira bangkit, membersihkan debu di baju dan celananya dengan wajah kebingungan.

“Master, dengan memanfaatkan kabut ungu kita pasti akan bisa menyelamatkan mereka!” hibur Kabut Ungu.

Shira tersenyum tipis. “Seharusnya aku gak menghampiri Kakek Lharu saat dia sedang banyak pikiran.”

Shira sudah memikirkan ini sebelumnya. Minimal, dua penculik yang menerobos kediaman Malikh adalah petarung berlevel 20an. Jika ia bisa memanfaatkan kabut ungunya untuk menolong Bhela dan Lyla, itu akan sangat beruntung sekali.

Sebenarnya, dalam hati ia ragu bisa mengalahkan dua penculik itu. Awalnya ia ingin meminta bantuan dan menjadi penuntun yang akan menentukan posisi Bhela dan Lyla.

Tapi sekarang setelah dibentak oleh Kakek Lharu, Shira hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri. Ia hanya berharap Keluarga Malikh segera menyadari penculikan ini dan mengirimkan bantuan sebelum Shira mencapai batasnya.

“Master, gak perlu bimbang,” kata Kabut Ungu dengan nada menghibur lagi, “jika Master bisa menjelajahi potensi-potensi elemen kabut ungu lebih jauh lagi, semua akan baik-baik saja. Barangkali Master bisa memanfaatkan krisis ini untuk memahami lebih jauh lagi kekuatan Master.”

Mendengar suara Kabut Ungu, Shira merasa sedikit lebih lega. Entah mengapa Shira merasa beruntung Kabut Ungu memiliki suara wanita lembut yang bisa menyejukkan hatinya yang kalut, bukannya suara om-om garong seperti suara Arwah Baik Hati.

***

“Mmmph! Mmmmmh!” Lyla mencoba berteriak tapi mulutnya sudah disumpal kain. Sedang Lyla yang di bawa oleh penculik lain tetap tenang.

Mereka tak tahu akan dibawa ke mana. Tentu saja karena mata mereka tertutup. Tapi mereka bisa jelas mendengar ucapan dua penculik itu saling bercakap.

“Hei, apa kamu pikir kita juga bisa mencicipi Bhela?” tanya salah seorang dengan sorotan mata penuh nafsu.

“Jangan menyentuhnya sebelum kita menyerahkan dua anak ini ke pangeran,” kata yang lain.

“Aku harap pangeran memberikan kesempatan setelah dia selesai dengan mereka. Sejak dulu aku sudah ingin sekali sama Bhela.”

Mendengar ia dianggap layaknya barang seperti itu, Bhela hanya diam saja. Tapi dalam hati ia mencoba mencari kesempatan untuk membebaskan diri yang tak kunjung datang juga. Samar-samar ia sudah mendengar Lyla menangis terisak pelan.

“Dari pada memikirkan itu mending kita gesit. Akan merepotkan jika Malikh tau kita menculik gadis mereka.”

“Tenang. Aku sudah menaruh skill di kamar itu sebelum mereka berteriak. Gak bakal ada yang menyadarinya sampai pagi tiba.”

Di malam yang sepi itu mereka berlari, menyelip di kegelapan semak-semak sepi. Mereka menghindari jalan dan rute patroli keamanan desa. Jika mereka melihat ada patroli di depan, mereka akan menunggu hingga patroli itu lewat. Tapi jika sesekali mereka melewati patroli yang mereka kenal, dengan menyelipkan beberapa koin perak, mereka bisa lewat begitu saja.

“Ini bonus. Kalau ada yang mengejar di belakang tolong bantuannya,” kata salah seorang penculik menyelipkan koin ekstra.

“Siap!” kata si patroli. Melihat dua gadis yang terikat itu, ia hanya bisa memberikan senyum nakal kepada dua penculik itu, yang dibalas dengan tawa ringan.

Setelahnya, dua penculik itu pergi. Sedang si patroli berjaga di situ. Jika rombongan Keluarga Malikh mengejar, ia berencana untuk menggiring mereka menjauh dari dua penculik itu.

Tapi ia menunggu tak ada rombongan yang datang. Yang ia lihat hanyalah sebuah bola berbulu ungu yang berguling-guling di tanah, melesat ke arah para penculik tadi pergi.

Saat si patroli melihat Momon, ia memiringkan kepalanya. Kemudian ia mengangkat bahunya seraya kembali menunggu seolah-olah tak melihat apa-apa.

Sepuluh menit kemudian, ia melihat beberapa orang berwajah keras yang memegang panah dan pedang yang sudah lepas dari sarungnya. Patroli itu tersenyum dalam hati. Kemudian mendekat kumpulan orang itu dengan wajah polos.

“Abang-abang, ada apa malam-malam bawa senjata seperti ini,” katanya pura-pura tak tahu apa-apa.

“Mas sedang patroli? Apa lihat dua orang berpakaian gelap sedang menggendong cewek lewat sini?” tanya salah seorang yang membawa pedang.

“Loh? Itu maksudnya penculik? Kayaknya aku melihat dua orang mencurigakan tadi,” kata si patroli memasang wajah mengingat-ingat.

“Benarkah? Lewat mana mereka?”

Tentu saja si patroli menunjuk arah yang sangat berbeda dari arah dua penculik tadi pergi.

“Mas Patroli, tolong kami mengejar penculik itu!” seru salah seorang yang lain.

“Benar sekali, kita kekurangan orang!” imbuh yang lain lagi.

Patroli itu mengeluarkan senyum bersahaja. “Oke. Ayo cepat, kalau bergegas kita bisa mengejar mereka.”

Patroli itu langsung ikut berlari bersama orang-orang ini ke arah yang ia tunjuk tadi. Beberapa menit kemudian, ia menyadari sama sekali tak mengenal orang-orang ini.

“Ngomong-ngomong, sepertinya aku gak pernah melihat abang-abang desa ini. Kalian bukan orang dari Keluarga Malikh, kan?” tanyanya penasaran.

Mendengar pertanyaan itu, salah seorang tertawa lepas. “Haha, tentu saja kami bukan orang Malikh.”

“Bahkan menyebut kami orang juga belum tentu benar,” kata yang lain tersenyum.

“Apa coba maksudnya, haha,” kata si patroli mencoba untuk ikut berguyon.

Tapi setelahnya, pengejar yang lain tiba-tiba menghentikan langkah lari mereka.

Si patroli, sambil heran, ikut berhenti dan melihat ke arah orang-orang asing ini. Salah satu dari mereka berkacak pinggang dan berkata, “Ck, ck ck! Gak kusangka efek elemen kabut ungu sehebat ini,” katanya santai.

“Efeknya terlalu nyata, bahkan si Mas Patroli ini gak bisa bedainnya,” kata yang lain. “Tapi sayang kabut ungu ini punya durasi singkat dan gak seperti Momon yang punya kesadaran sendiri.”

“Bagaimana pun juga, aku bisa membuat orang-orangan sungguhan seperti ini, sudah hebat sekali.”

Si patroli mengerutkan dahinya, ia tak mengerti apa yang diucapkan orang-orang ini. Lalu sontak saja, kejadian mengejutkan yang tak bisa diproses nalar manusia terjadi di depan matanya.

“Oops, sepertinya durasiku sudah habis,” kata salah seorang yang memegang panah.

*poof!*

Tubuhnya berubah menjadi gumpalan kabut berwarna ungu. Sekejap saja membaur dengan udara dan menghilang begitu saja.

“Aku juga sudah waktunya pergi.”

*poof!*

Dengan begitu, yang lain juga meledak menjadi gumpalan asap kabut berwarna ungu.

*poof! poof! poof! poof!*

Si patroli menghisap napas keras. Apa yang sebenarnya terjadi?

Ia menoleh ke arah orang yang tersisa, seorang pria berkumis tebal yang mengenakan topi fedora di kepalanya. Pria kumis itu membalas tatapan si patroli, tersenyum, langsung menarik sedikit topinya ke bawah dan memberi salam:

“AdiĆ³s amigo.”

*poof!*

Si patroli tercengang dengan mulut menganga. Ia sendiri tak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

Ia tak tahu, semenjak ia menggiring orang-orangan ini pergi, jalan yang ia jaga tadi terbuka dan seorang pemuda lewat begitu saja.

Pemuda itu tak bisa menyembunyikan senyumnya sembari ia berlari mengejar si penculik.

“Master, sepertinya Master menyukai efek lain elemen kabut ungu ini,” kata Kabut Ungu di benaknya.

“Ini brilian sekali. Gak seperti elemen chaos yang mengacak-acak kepala orang lain, kabut ungu benar-benar membuat proyeksi di dunia nyata,” kata Shira bersemangat dalam hatinya.

“Tapi mereka tadi hanyalah proyeksi semata, sebatas boneka. Jika dalam pertarungan sungguhan, mereka akan rentan sekali.”

“Aku tau.”

“Tapi jika Master bisa menjelajahi kabut ungu lebih jauh lagi, terutama bila sudah menjadi Spirit Conductor, Master bisa menciptakan puluhan makhluk yang lebih kompleks dari pada Momon yang akan siap bertarung untuk Master!”

Adrenalin Shira terpacu! Ia terus membayangkan sejauh mana elemen kabut ungu ini akan membawanya pergi.

Shira begitu bersemangat sampai-sampai sudah lupa betapa gentingnya situasi saat ini.

***

<<PREVIOUS CHAPTERNEXT CHAPTER>>