Spirit Conductor: Book 2, Chapter 47



Chapter 47 - Menyelamatkan Bhela

Langkah kaki Shira ringan dan hati-hati. Ia sebisa mungkin tak menginjak ranting atau dedaunan kering di tanah.

Dari situ, ia bisa melihat punggung si penculik. Sesekali si penculik menoleh ke arah belakang, tapi saat itu Shira sudah bersembunyi di balik lebatnya lingkungan. Ia berlari lagi, dan Shira pun kembali mengejar.

Seraya Shira mengejar, gumpalan kabut berwarna ungu muncul di sampingnya. Seperti asap bentuknya, namun perlahan-lahan kabut ungu tersebut mendapatkan massa dan menjadi padat.

Ini adalah proyeksi pertama Shira. Ia membentuknya menyerupai seorang veteran yang melewati banyak pertarungan. Tak lupa ia memberikan detail seperti luka pedang di lengan dan aroma darah yang samar tercium.

Proyeksi petarung tersebut, ketika mendapatkan bentuk manusianya, langsung saja menggerakan langkah kakinya menyusul kecepatan lari Shira.

Wajahnya kasar dan dingin. Matanya tajam seperti seorang pemburu yang bersiap menerkam mangsanya!

Lalu, gumpalan kabut ungu lain muncul. Proyeksi kedua Shira. Ia menekan durasi mereka, dan dengan bantuan Kabut Ungu mampu menghemat banyak mana.

Selama kabut ungu itu terbentuk menjadi wujud manusianya, Shira sama sekali tak melepaskan pandangannya dari si penculik. Ia tetap berlari mengejar.

Beberapa detik kemudian, petarung kabut ungu lain menyusul langkah kakinya. Proyeksi ketiga dibuatnya, lalu keempat, kelima, keenam, ketujuh...

Tak lama kemudian, belasan proyeksi petarung berwajah menyeramkan sudah dipimpin olehnya.

Ketika mana-nya sudah habis, Shira menghentikan langkah. Begitu juga dengan belasan proyeksinya.

Kemudian dengan sekali perintah di benaknya, belasan proyeksi petarung itu langsung berpencar.

***

“Sudah tak bilang ini arah barat, malah ngeyel. Nyasar baru tau rasa kamu, dasar bego,” umpat si penculik masih kesal setelah berpencar dengan kawannya.

Semenjak tadi mereka terus-menerus menghindari jalan utama di desa itu, hingga sampai ke tempat berpohon lebat. Tempat ini seperti hutan. Mereka tak tahu di mana arah utara atau selatan. Beberapa kali berselisih, akhirnya mereka berpencar mengikuti arah masing-masing.

Karena itu Shira jadi tahu mereka tak memiliki pengalaman menculik sebelumnya. Shira mengira mereka adalah berandalan pasar yang sering membuat ulang di desa. Tetapi tetap saja, Shira tak akan mampu mengatasi penculik ini walau satu lawan satu.

Di pundaknya si penculik menggendong Bhela, yang masih diam tak bergeming. Ia tak bisa melihat tapi setelah mendengar cekcok dua penculik ini dan berkurangnya suara langkah kaki, gadis itu bisa tahu mereka tak lagi mengambil jalur yang sama.

Karena Bhela adalah petarung dengan kelas unik Archer, persepsinya lebih tajam dari orang biasa. Telinganya sensitif. Jadi tak lama kemudian, ia menangkap suara samar-samar beberapa langkah kaki yang mengintai penculik tersebut.

Beberapa menit mencoba fokus mendengarkan langkah-langkah kaki samar tersebut, Bhela menyadari jumlah yang mengikuti si penculik lebih dari sepuluh orang.

Hatinya tercekik. Apakah ini semua orang Malikh yang mengejar penculiknya? Bhela hanya berharap mereka tahu kalau tadi dua penculik ini sudah berpencar. Jika tidak, bagaimana dengan nasib Lyla?

Si penculik sama sekali tak menyadari kehadiran mereka, hanya mengengok ke kanan dan ke kiri seraya berlari menggendong Bhela. Wajahnya kebingungan mencari arah kembali ke desa. Ia sudah bertaruh pada kawannya tadi bagi siapa yang duluan sampai ke tujuan akan mendapatkan semua upah.

*wooosh!*

Tiba-tiba sebuah anak panah melesat tepat di depan hidungnya.

“Anjrit!” umpatnya kaget. Ia melihat anak panah itu menancap ke batang pohon lembap di kirinya.

“Berhenti!” raung sebuah suara serak.

Seorang pria berwajah keras yang membawa panah kemudian muncul dari balik semak-semak. Pandangannya tajam dan dingin memberi peringatan.

Si penculik terkejut. Ia langsung mengentak keras kakinya dan mendorong tubuhnya untuk berbalik arah, tetapi cepat ia melihat orang yang lain sudah memutus jalur pelariannya.

Ia menoleh ke segala arah, makin banyak orang berwajah ganas muncul dari gelap malam. Mereka datang dari berbagai sudut, menutup jalan untuknya kabur.

Si penculik keras-keras menarik napas. Ia sudah terkepung!

“Lepaskan Nona Muda Bhela!” teriak salah seorang yang membawa tombak.

Si penculik kemudian melihat petarung lain yang membawa heavy sword mengambil selangkah maju. Sontak ia menurunkan Bhela dari gendongannya, mengeluarkan dagger, dan menempelkannya di leher si gadis.

“Jangan mendekat! Jangan mendekat! Kalau gak kubunuh cewek ini!” ancamnya panik.

Belasan petarung yang mengepungnya terdiam.

“Tenang, kawan. Kami gak mau ada kecelakaan. Lepaskan Nona Muda Bhela dan kami akan berpura-pura peristiwa ini gak pernah terjadi.”

“Kalian akan membunuhku nanti,” kata si penculik tak percaya.

“Gak akan! Kami bukan orang Malikh! Kami datang dari Blackwood dan diperintahkan oleh Tuan Besar untuk melindungi Nona Muda Bhela. Gak ada dendam di antara kita. Kami rela melepaskan masalah ini jika kamu menyerah dengan damai.”

Si penculik tetap diam. Ia menatap dingin pria bertombak yang memintanya untuk menyerah tadi. Sedang Dagger-nya masih melekat di leher Bhela yang matanya ditutup dengan kain hitam. Rupanya belasan orang ini tak bisa menang melawannya hanya dengan kata-kata.

“Kami akan membayarmu,” kata si pria bertombak itu. “Asal kamu gak melukai Nona Muda Bhela!”

“Berapa yang kalian tawarkan?”

Pria dengan tombak itu mengeluarkan kantung uang. Ia bahkan memerlihatkan isinya kepada si penculik.

“Kami rela mengeluarkan dua ratus keping emas.”

Si penculik tak bergeming, di matanya terpancar keraguan untuk membuat keputusan.

“Aku memiliki dua puluh keping emas tambahan kalau masih kurang,” sahut salah seorang.

Semua orang menoleh ke arahnya, yang tengah memamerkan tangan penuh dengan koin emas.

“Terima kasih, bro!” si pria bertombak menghampirinya dan menyodorkan kantung uangnya. Lantas orang yang tangannya penuh dengan koin emas itu menumpahkan uangnya ke kantung tersebut.

“Apa ada lagi yang mau menyumbang?” tanya si pria bertombak itu lantang.

“Aku punya lima puluh dua keping emas!”

“Tiga puluh lima!”

“Ini aku ada lima belas! Tambah lagi sekantung koin perak yang isinya tiga ratus keping.”

“Tujuh puluh koin emas, asalkan Nona Muda Bhela gak terluka!”

Mata si penculik berkilat-kilat. Dalam hati ia menghitung berapa uang yang masuk ke dalam kantung itu.

“Tujuh ratus keping emas lebih! Jauh lebih banyak dari upah yang diberikan Pangeran Tatalghia!” seru si penculik dalam hati.

“Bagaimana sekarang? Kita damai dan masalah langsung beres. Kami gak akan mengejarmu lagi, asal lepaskan Nona Muda Bhela,” kata si pria bertombak.

“Lepaskan Nona Muda Bhela!” sahut yang lain.

“Lepaskan! Lepaskan!”

“Dan lepaskan tangan kotormu itu dari tubuhnya!”

Penculik tersebut tak mengindahkan seruan orang-orang ini. Di pikirannya hanya fokus pada kantung emas di tangan pria bertombak.

“Lemparkan uangnya kemari,” katanya belum mau melepaskan Bhela.

Lawannya, walau menang jumlah, tak menolak permintaannya. Kantung emas itu langsung di lemparkan ke kakinya.

Si penculik, menggunakan ujung sepatunya yang lancip, melontarkan kantung emas itu ke udara dan menangkanya dengan tangan kiri yang bebas, sedang tangannya masih tak melepaskan dagger-nya.

Ia bahkan tak bisa menyembunyikan senyumnya ketika menangkap kantung emas yang gemuk dan berat itu.

“Buka jalan!” seru si penculik dengan nada memerintah.

“Kasih dia jalan,” kata si pria bertombak tadi, dan beberapa orang kemudian membubarkan formasi mengepung, membuat celah di satu sudut.

Sambil masih menaruh dagger di leher Bhela, pelan-pelan si penculik melangkah ke celah tersebut sambil mengawasi orang-orang ini dengan matanya yang curiga.

“Kalau berani bertingkah yang aneh-aneh, Blackwood akan membantai semua keluargamu,” cibir seorang dengan wajah gembuk padanya tiba-tiba.

Penculik itu balas mencibir. Ketika ia sudah cukup jauh, barulah si penculik melepaskan Bhela dan berlari kabur.

Langkah kaki si penculik sangat lebar dan cepat. Terkadang ia melompat karena saking girangnya. Ia melihat ke belakang, dan sama sekali tak ada yang mengejarnya!

Kembali ke tempat Bhela di lepaskan.

Karena matanya di tutup Bhela tak bisa melihat orang-orang yang mengepung penculik tadi sudah lenyap menjadi asap kabut ungu. Ia terbaring di tanah tenang semenjak si penculik melepaskannya.

Kemudian ia mendengar sebuah langkah ringan mendekat. Bhela menahan napasnya. Langkah kaki ini berbeda dari langkah-langkah tadi.

Sebuah telapak tangan berkulit tipis menyentuhnya, dan dengan kemudian ia merasakan ikatan tangannya dilonggarkan.

Bhela langsung menyadari orang ini juga berniat menolongnya. Tetapi setelah melonggarkan ikatan tangannya, Bhela tak merasakan apa-apa lagi.

Hening di malam itu. Bahkan Bhela tak mendengar gerakan sekecil apa pun di dekatnya.

Dengan tangannya ia berusaha melepaskan tangan dari ikatan yang longgar. Setelah itu ia melepas sumpalan mulut dan kain hitam di matanya.

Bhela menoleh kesana kemari. Tak melihat apa-apa kecuali dirinya sendiri dan pohon-pohon mati di tengah hitam malam.

“Di mana orang-orang yang menyelamatkanku?” tanya Bhela dalam hatinya.

Tak jauh dari tempat Bhela berada, seorang pemuda tengah bergerak tanpa membuat riak di keheningan malam.

“Master, bukannya Master berniat menjadikan Bhela bantuan untuk menolong Lyla tadi? Kenapa kita kabur sekarang?” tanya Kabut Ungu bingung dalam benak Shira.

“Gak jadi. Sekarang aku pengen jadi misterius,” jawab Shira.

“Apakah Master malu ketahuan menyelamatkan gadis itu?”

“Gak lah.”

“Terus kenapa?”

“Karena aku orangnya misterius!” jawab Shira kukuh.

Kabut Ungu tak berkata apa-apa lagi. Ia mulai terbiasa dengan sikap tuannya yang pemalu.

***

<<PREVIOUS CHAPTERNEXT CHAPTER>>