Spirit Conductor: Book 2, Chapter 53



Chapter 53 - Kakek Lharu Pergi Lagi

Lyla tidak bisa apa-apa. Ia hanya menangis dan berharap seseorang menolongnya.

“Hiks, hiks...”

Setelah ditinggalkan oleh penculiknya, ia malah menjadi lebih takut. Cemas jika sesuatu akan terjadi padanya. Dan ia hanya bisa menangis lagi.

Sampai Momon datang untuk menenangkannya. Ia tak tahu harus merasakan apa setelahnya.

“Momon, jangan tinggalkan aku...”

Beberapa saat kemudian, ia mendengar suara langkah ringan menapaki tanah basah yang mendekat. Penculik itu kembali? Lyla berusaha untuk menghentikan tangisannya tapi ia tak bisa.

“Momon, jangan pergi...”

“Jangan tinggalkan aku...”

“Aku takut...”

Ia terus-menerus merapal kata-kata itu di kepalanya.

Dan suara langkah itu berhenti di sebelahnya.

“Jangan menangis,” sebuah suara lembut terdengar di samping telinganya. Kemudian Lyla bisa merasakan tali di tangannya diputuskan.

Pemilik suara itu masih muda. Sedikit ragu-ragu tapi terasa menangkan. Jika saja Lyla tak bertemu dengan pemilik suara tersebut hari ini, barangkali ia tak akan mengenalinya.

Dan benar saja, ketika tutup mata Lyla dibuka, ia melihat seorang pemuda dengan sebuah senyum tipis di wajahnya.

“Sekarang sudah gak apa-apa. Kamu sudah aman,” kata Shira menenangkan, menggunakan jempolnya untuk mengusap air mata di pipi Lyla yang basah.

Lyla hanya diam memandangi wajah Shira dengan matanya yang bulat bersih. Mata dan hidungnya memerah karena menangis sejak tadi. Air mata yang berkaca-kaca di matanya bulat membuat Shira tak bisa menanggalkan pandangannya dari dua bongkah berlian yang cantik itu.

Dan Lyla masih terdiam. Mereka saling memandang, kontak mata selama beberapa detik. Tapi bagi Shira, waktu terasa melambat. Hatinya meleleh. Dadanya terasa sesak oleh sesuatu perasaan manis yang ia tak kenal.

Apakah ini yang namanya cinta? Sesuatu berbeda yang ia rasakan saat berada di laut, tetapi sama-sama membuat hatinya hangat dan nyaman.

“Laut, aku gak perlu mencarimu jauh-jauh. Aku sudah menemukanmu di sini,” kata Shira dalam hati. Apakah ini alasan sebenarnya Laut memberikan kabut ungu kepada Shira, agar ia bisa menyadari bahwa mereka begitu dekat semenjak awal?

Tuing tuing.

Momon sudah ada di pundak Shira, bermain dan melompat-lompat di ubun kepalanya.

“Momon, kemari,” Lyla melepaskan kontak matanya dengan Shira, memanggil Momon dengan nada memerintah.

Momon terdiam sesaat di atas rambut Shira. Tuing, ia pun melompat ke dekapan Lyla.

“Kamu gak apa-apa?” tanya Shira dengan nada perhatian. “Kamu pasti ketakutan sekarang. Aku akan membawamu pu—emph!”

Sontak Lyla mengayunkan kaki kanannya, melesat di sela kaki Shira, melayang ke atas menghantam—

Critical Strike!

Shira hampir melompat semeter ke udara karena saking terkejutnya. Tendangan Lyla begitu menyakitkan, menghantam tepat di area vitalnya.

Pemuda itu tersungkur di tanah sambil memegangi selangkangan dan dua barangnya yang terasa hampir pecah. Wajahnya mengernyit dan ia meringis kesakitan, saking sakitnya ia pun ingat kejadian di depan gerbang waktu kakek itu membangkit jiwa Pemberontaknya.

“Hampir pecah,” desis Shira menahan sakit.

Ia tak melihat Lyla yang sudah berlari kabur membawa Momon tergesa-gesa.

“Master, bisa saja tadi Master menghindari menggunakan ‘Water Flowing Style’. Serangan Lyla bahkan orang awam pun bisa menghindarinya,” kata Kabut Ungu menambah air garam di luka Shira, yang hanya mendesis kesakitan tak membalas.

Beberapa menit kemudian baru Shira bisa berdiri, walaupun jalannya agak aneh. Area vitalnya terasa perih tapi ia masih menghawatirkan keselamatan Lyla. Ini bukanlah tempat untuk seorang gadis berkeliaran. Apakah ia aman bersama Momon?

Shira hanya melihat Lyla berlari di tengah malam membawa Momon lewat ‘Mental Link’-nya.

Dengan setiap langkah yang terasa berat dan menyakitkan Shira pun kembali ke arah tempat ia meninggalkan mayat tadi.

***

Bau hangus mengisi udara malam. Cahaya jingga redup menerpa wajah kakek tua itu.

Kakek Lharu awalnya terdiam melihat sikap nenek di depannya. Dan kini ia pun berkata, “sudahlah, dia sudah mati begitu.”

“Aku gak akan menyisakan tubuh orang yang berani menyentuh keluargaku,” kata Nenek Sari bertekad. Ia membajakan hatinya, amarah membara-bara di dadanya, tapi jujur ia tak ingin Lharu melihatnya seperti ini.

Lharu hanya diam lagi kemudian. Ia paham dari mana amarah itu berasal. Kejadian seratus tahun yang lalu pun terulang di kepalanya.

Waktu itu ia masih muda, Nenek Sari juga masih muda. Mereka berkelana berdua mengelilingi Benua Tiramikal, dan kemiskinan yang melanda membuat Lharu muda tak bisa berbuat banyak ketika ia sakit.

Nenek Sari, yang waktu itu masih memiliki kecantikannya yang walau tak secantik para wanita setengah peri yang konon mampu membuat kota hancur hanya dengan kecantikannya, selalu berada di sampingnya. Dengan sabar dan perhatian wanita itu merawat Lharu. Tapi tanpa uang untuk bertemu dokter dan membeli ramuan mahal dari Alchemist mereka tak bisa berbuat apa-apa.

Saking lemasnya tubuh Lharu muda kesusahan berdiri. Waktu itu Sari bukanlah Mage Tier 3 seperti sekarang. Kemampuannya hanya biasa saja. Mengandalkannya untuk berburu inti moster seorang diri dan mencari uang dengannya adalah hal yang sulit. Lharu tak mengizinkannya berapa kali pun mereka berdebat.

Mencari party pun apalagi. Lharu tak akan rela membiarkan Sari sendirian bersama pria-pria serigala yang selalu mencari kesempatan untuk memandangi lekuk tubuhnya itu.

“Lebih baik aku seperti ini dari pada membuatmu kerepotan,” kata Lharu waktu itu.

Kakek Lharu melihat ke arah wajah Nenek Sari. Ia pun melihat tanda kepasrahan yang sama di wajah Sari dulu.

Kejadian selanjutnya lah yang membuat Nenek Sari tak bisa melupakan masa lalunya. Sari hampir diperkosa oleh seorang tuan muda suatu clan besar yang menguasai kota tempat mereka tinggal sementara. Jika saja Lharu waktu itu tak mampu memegang pedang, ia akan menyesal seumur hidup.

Dengan tubuhnya yang lemah namun bertenagakan amarah yang mampu membakar langit, Lharu langsung membunuh tuan muda itu di tempat. Hal itu membuat orang-orang clan tersebut murka. Lharu dan Sari yang belum sempat berusia empat puluhan itu, masih bisa dikumpulkan dengan para petarung generasi baru. Dua pria dan wanita dari generasi baru itu membantai kepungan clan besar itu untuk membuka jalan mereka.

Barangkali saat itulah sebutan Pendekar Pedang Kidal menjadi tenar. Kakek Lharu mengingat kembali waktu itu ia berlindung di Moon Temple dari kejaran clan yang ia buat marah, hingga suatu hari menaikki tangga untuk menjadi yang terkuat di kuil itu, langsung meraih gelar Pendeta Tinggi tanpa ia sadari.

“Wanita harus lemah. Begitulah caranya mendapatkan perhatian orang yang ia sayangi. Tapi wanita juga harus kuat. Wanita yang hanya bisa dilindungi gak akan memiliki harga diri ketika jauh tertinggal oleh orang yang ia sayangi,” bisik Sari pada Lharu ketika ia bertekad untuk terus mengikuti Pendeta Tinggi baru itu dari belakang.

“Sari, kamu berubah banyak semenjak waktu itu,” desah Kakek Lharu mengingat masa lalu.

“Sejak kapan?” tanya nenek itu tak mengerti maksud Kakek Lharu.

Kakek Lharu tak menjawab dan malah mengganti topik. “Aku akan pergi lagi besok. Subuh-subuh si Ghuntur akan datang membawa burung elang.”

“Kemana kamu akan pergi?” tanya Nenek Sari mengangkat alisnya.

“Ke padang pasir dekat perbatasan. Aku mau mengecek kondisi Jhuro di situ.”

“Bisakah aku ikut?”

Kakek Lharu tertegun sesaat sebelum menjawab. “Katanya duel Shira dan anak dari Blackwood itu bakal diadakan di balai desa sebentar lagi. Kalau kita berdua pergi siapa yang akan membereskan masalah kalau ada kejadian apa-apa?”

“Aku mengerti,” ucap Nenek Sari lesu. Wajahnya merunduk ke bawah karena kecewa.

***

<<PREVIOUS CHAPTERNEXT CHAPTER>>