Spirit Conductor: Book 2, Chapter 56



Chapter 56- Koin Emas Kakek Lharu

Pagi setelahnya memang sedikit berawan. Cahaya matahari tak penuh sampai menerangi lapangan tempat Keluarga Yashura latihan. Tapi tetap saja itu adalah pagi yang ceria.

Ibu-ibu dan perempuan muda berkumpul di lapangan. Semua dari mereka mengenakan dandanan tebal dan menor, menyemprotkan parfum terbaik yang mereka miliki. Pakaian mereka mahal-mahal dan berwarna cerah, seperti tengah menghadari suatu pesta pernikahan.

Ada seorang pemuda cantik di situ, membaur seperti ikan di dalam air. Awalnya, ibu-ibu itu sedikit kaku di depannya. Lagipula siapa yang berani akrab dengan pangeran kerajaan tempat mereka tinggal?

Tapi Pangeran Edicha menunjukkan sifat aslinya ketika berkumpul dengan perempuan-perempuan itu. Ia menyukai obrolan tentang gaun dan baju cerah, perhiasan, cat kuku, dan hal feminim lainnya. Ia juga menyukai bergosip dengan ibu-ibu itu. Setiap kali prajurit East Tiramikal Kingdom yang menginap di Keluarga Yashura berlari jogging lewat dengan bertelanjangkan dada dan kulit berminyak karena keringat, Pangeran Edicha dan ibu-ibu itu langsung bersemangat serta menjerit-jerit.

Shuro sedang menemani pemimpin prajurit elite kerajaan. Ia tak tahu nama aslinya tapi semua orang memanggilnya Komandan Tarekh.

“Kepala Keluarga Yashura, maafkan kami. Aku mendengar banyak suami yang mengeluh pada Anda gara-gara istri mereka selalu menggodai prajuritku,” kata Komandan Tarekh minta maaf.

“Oh, gak apa-apa! Bukan masalah besar. Mereka hanya menggoda karena gak ada kerjaan aja, haha. Lagipula untuk prajurit elite tentu butuh kegiatan olahraga setiap hari.”

Komandan Tarekh mengangguk membalas ucapan Shuro.

Regu prajurit yang mengawal Pangeran Edicha sudah lama dibentuk khusus. Mereka diseleksi oleh sang pangeran sendiri.

Kriteria prajurit elite itu bukanlah dari kekuatan mereka. Level mereka terlalu beragam dan koordinasi antar anggota regu bisa dibilang rata-rata. Jika ditanya soal kemampuan, mereka tidak lebih sebagai prajurit biasa.

Tapi Shuro langsung paham ketika melihat. Semua dari mereka berbadan kekar dan berwajah tampan. Ia hanya bisa cekikik canggung ketika melihat Pangeran Edicha menepuk pantat prajuritnya yang lewat, yang langsung disambut tawa girang ibu-ibu itu.

Tak jauh dari situ, di lapangan yang sama, berbaris anak-anak kecil dengan usia delapan hingga empat belas tahun. Mereka membentuk dua garis. Setiap dari mereka berdiri dengan postur tubuh yang sama.

Wajah mereka berkeringat. Pose yang mereka lakukan sangatlah sulit dan membuat sendi-sendi mereka pegal. Tapi tak ada yang bermalas-malasan. Karena jika mereka serius berlatih seperti ini mereka akan mendapatkan sekeping koin emas untuk jajanan.

Orang yang melatih anak-anak ini, tentu saja Kakek Lharu.

Terkadang ia melihat ke arah ibu-ibu yang bersemangat, kemudian mencibirkan bibirnya dan berteriak, “berisik dasar semprul!”

Tapi tak ada yang mengindahkan teriakannya. Jadi ia kembali melatih anak-anak Yashura.

Pose yang ia ajarkan adalah fondasi untuk kuda-kuda ilmu pedang yang ia asah selama berpetualang dulu. Walaupun itu bukanlah gaya pedang yang membuatnya tenar dengan julukan Pendekar Pedang Kidal, tetapi gaya tersebut jauh lebih baik daripada gaya pedang yang diajarkan oleh Keluarga Yashura secara turun temurun.

Tentu saja, karena kuda-kuda itu membutuhkan postur tubuh yang lentur, sebagian besar dari anak-anak itu melakukan banyak kesalahan. Terutama bagi mereka yang masih berumur delapan tahun dan belum banyak mengolah raga.

“Siapa namamu?” tanya Kakek Lharu.

“Namaku Jhire Yashura, Kek Lharu,” jawab anak itu.

“Cu Jhire, mengapa kamu ikut latihan ini?” tanya Kakek Lharu lagi, di matanya penuh dengan keseriusan.

“Karena aku ingin menjadi kuat dan bisa melindungi semua orang,” jawab anak bernama Jhire itu dengan serius, lengkap dengan kepolosan anak seusianya.

“Bagus-bagus, mimpimu sangat mulia sekali. Tapi Cu Jhire, posturmu salah. Apa kamu ada kesulitan?” tanya kakek itu dengan nada lembut.

“Mm!” anak delapan tahun itu mengangguk keras. Ia dengan bersemangat menjelaskan kesulitannya. Penjelasannya terdengar sederhana dan kekanak-kanakan. Tetapi Kakek Lharu hanya tertawa dan mengajari anak itu pelan-pelan.

“Tetap berusaha keras. Di masa depan, kamu akan menjadi petarung yang hebat. Aku akan mempercayakan keselamatan Keluarga Yashura di masa depan padamu,” katanya kemudian sambil menyelipkan sesuatu ke dalam saku anak itu.

Anak itu pun menjadi senang luar biasa. Sedang anak-anak yang lain hanya bisa melihat dengan wajah iri. Kakek Lharu menemukan trik untuk membuat anak-anak ini mendengar perkataannya. Yaitu dengan menyelipkan beberapa koin emas di saku mereka setiap beberapa saat.

Koin emas itu, memiliki corak dan ukiran yang sangat berbeda dengan koin emas yang anak-anak itu lihat. Ketika dipegang di tangan pun sensasinya terasa beda. Anak-anak itu tak tahu yang mana perbedaan nilainya dengan keping emas biasa tapi emas tetaplah emas. Satu keping emas saja sudah menjadi harta karun untuk anak seusia mereka.

Berikutnya, Kakek Lharu melihat anak seorang gadis berumur sebelas tahun yang juga ikut pelatihannya yang membuat kesalahan lain.

Kakek Lharu tak pernah melihat gadis ini sebelumnya. Gerakannya sangat amatiran dan kulitnya tipis, putih dan lembut. Hanya sekilas dilihat saja semua orang bisa melihat ia baru ikut latihan hari ini.

“Siapa namamu?”

“Thari Yashura, Kek Lharu,” jawab gadis itu.

“Mengapa kamu ikut latihan ini? Perempuan dengan temperamen sepertimu gak cocok kerja di lapangan,” kata Kakek Lharu.

“Tapi aku mendengar Kakek Lharu adalah Pendekar Pedang Kidal,” mata gadis itu berbinar-binar sambil mengucapkan hal itu.

Mendengar Pendekar Pedang Kidal disebut, Kakek Lharu yang tubuhnya kurus langsung membusungkan dadanya. “Tentu saja Kakek adalah Pendekar Pedang Kidal. Kamu gak salah denger, Cu.”

“Kubaca Pendekar Pedang Kidal adalah pendekar yang paling hebat. Dengan satu tangan ia bisa mengalahkan ribuan musuhnya. Aku datang latihan ke sini hanya agar bisa bertemu Kakek Lharu,” kata gadis itu sambil tersenyum manis. Ia berkedip-kedipkan matanya yang bulat ketika berkata.

“Haha, tentu saja kamu bisa bertemu Kakek kapan saja, haha!” kemudian ia menyelipkan keping emasnya ke saku gadis itu. “Kamu gadis baik. Jangan dihabiskan uang ini buat permen ya, haha.”

Melihat itu semua anak yang lain menyorotkan pandangan iri mereka ke gadis itu.

Tapi si gadis bernama Thari itu tak diam di situ saja. Ia lanjut berkata. “Kalau aku besar nanti, aku ingin sekali menikah dengan pria hebat dan tampan seperti Kakek Lharu!”

Ia berseru penuh tekad dan polos. Semua yang melihat air muka di wajah yang manis itu pasti hati mereka akan meleleh.

“Kamu akan menemukan pria terbaik, Cu! Pria yang hebat seperti Kakek, haha!” Kakek Lharu tertawa lebar, kemudian menyelipkan koin kedua ke saku gadis itu.

Semua yang melihat itu hanya bisa mengangakan mulut mereka. Dua koin sekaligus? Dan gadis itu tak menunjukkan wajah senang yang berlebihan.

Rubah cilik! Gadis itu sengaja menjilat agar mendapat koin lebih. Semua orang bisa melihat itu, kecuali Kakek Lharu.

Berikutnya Kakek Lharu menghampiri seorang anak gemuk yang bahkan berdiri dengan satu kaki saja ia kesusahan. Dari yang terburuk di anak-anak ini, si gemuk inilah yang terburuk.

“Siapa namamu?”

“Namaku Hhera Yashura, Kek Lharu!”

“Mengapa kamu datang latihan kemari? Aku gak pernah lihat kamu di lapangan ini.”

“Karena kakakku bilang kalau aku kemari aku bisa mendapatkan koin emas.”

Semua anak-anak yang berbaris makin mengangakan mulut mereka mendengar si kejujuran si gemuk ini. Saking jujurnya, mereka ingin sekali menampar jidat sendiri dan menendang pantat si gemuk ini.

Tapi Kakek Lharu malah tertawa terbahak-bahak lagi. Dengan santainya ia mengeluarkan tiga keping emas dan menyelipkan di saku si gemuk itu.

“Haha, Kakek Lharu masih punya banyak. Jadi kalau uangnya habis ntar minta aja ke Kakek!”

Anak-anak yang lain hanya diam serius mempertahankan pose kuda-kuda mereka. Walau begitu, dalam hati mereka sangat bersemangat dan berharap Kakek Lharu menghampiri.

Namun Kakek Lharu malah menghampiri seorang yang paling berbeda di antara yang lain. Orang ini, berada di ujung barisan, berlatih dengan kuda-kuda sempurna seperti yang diajarkan oleh Kakek Lharu.

Tapi ketika melihat orang ini, wajah Kakek Lharu berubah garang dan urat nadi menimbul di kening dan lehernya. Ia melotot sambil bertanya lantang:

“Kamu siapa?!”

“Namaku Bhalu Yashura, Kek Lharu!” jawab orang itu. Ia berbeda dari yang lain karena di antara anak-anak yang berbaris, ialah yang paling tua.

Faktanya, ia bukanlah anak-anak. Seorang pria paruh baya dengan badan bugar dan berpengalaman.

Jika diingat kembali ia adalah instruktur yang tangannya terpotong oleh teknik pedang Kakek Lharu, kemudian disambungkan kembali oleh Shira Yashura.

“Ngapain kamu di sini?” tanya Kakek Lharu ketus.

“Aku ingin diajari langsung oleh Kakek Lharu. Lihat, Kek, apa kuda-kudaku sudah benar? Aku mengikuti setiap instruksi Kakek tanpa membuat kesalahan.”

“Ya iyalah tanpa kesalahan. Ini latihan buat anak-anak semfhrul!”

“Oh... gitu ya? Hehe—PHUUU!!!”

Kaki Kakek Lharu yang melesat secepat kilat langsung mendarat di perutnya.

Tendangan itu biasa saja, tapi langsung melontarkan si instruktur sepuluh meter ke udara!

“Malah cengar-cengir dasar kamfhret enthe!” sahut Kakek Lharu kemudian.

Semua orang langsung tercengang. Ketika si instruktur itu mendarat di tanah, ia hampir tak sadarkan diri. Prajurit-prajurit yang sedang jogging langsung berlari ke arahnya untuk menolong instruktur itu.

“Pagi-pagi sudah ada korban jiwa,” komentar Komandan Tarekh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Sedang Shuro yang di sebelahnya hanya bisa menutup wajahnya karena malu.

Ibu-ibu serta Pangeran Edicha yang menonton langsung ikut mengerumuni instruktur itu. Tapi mereka tak peduli pada si instruktur. Yang mereka inginkan hanyalah bisa dekat dengan prajurit-prajurit tampan dan bisa mendapatkan kesempatan untuk memegang otot mereka yang kekar.

Instruktur itu, dengan baju dan wajah penuh debu, membuka matanya yang hampir terpejam dan kembali bangkit dengan susah payah.

“Apa kamu gak apa-apa mas bro?”

“Jangan dipaksakan brader!”

Saran mereka tak didengar olehnya. Wajah instruktur Bhalu penuh tekad dan semangat untuk dilatih oleh Kakek Lharu.

Semenjak kalah duel dari Kakek Lharu, ia kagum dan menjadi penggemar setia Kakek Lharu. Ia menyelip di antara anak-anak karena ingin sekali mendapatkan kehormatan untuk dilatih langsung oleh Pendekar Pedang Kidal yang legendaris.

“Luka ini tak seberapa. Sebagai seorang pria sejati aku harus menahan sakit, seberapa pun beratnya, hanya untuk mendapat pengakuan sang Master!”

Dengan kaki yang pincang ia berjalan pelan. Semua prajurit elite East Tiramikal Kingdom hanya bisa melihat punggungnya ketika ia kembali berjalan menahan rasa sakit dan rintangannya. Di mata mereka, instruktur Bhalu adalah seorang pria sejati. Seorang sepertinya, demi menaikki tangga seni bela diri yang sangat kejam, rela ditindas dan ditendang-tendang oleh Kakek Lharu. Dia ia masih memiliki semangat untuk dilatih oleh kakek itu!

“Ngapain kamu balik ke sini?” tanya Kakek Lharu kesal melihat instruktur itu kembali.

“Kek Lharu, jadikan aku muridmu! Aku janji aku akan selalu mendengar—PUUH!!!”

Tanpa basa-basi ia melayang lagi di udara oleh tendangan Kakek Lharu. Tendangan ini pun benar-benar membuatnya tak sadarkan diri.

“Enthe ketuaan dasar dodol!”

Kemudian, Kakek Lharu berbalik lagi ke anak-anak itu. Tapi anak-anak itu sudah gemetar ketakutan. Mereka terlalu sibuk memikirkan koin yang akan diberikan Kakek Lharu sampai lupa seberapa galaknya kakek ini ketika ia marah.

Saat itu Shira baru saja bangun. Ia mencuci mukanya dan menyadari kalau bangun kesiangan. Biasanya ketika ia tidur pulas seperti itu, Mila kakak sepupunya akan membangunkannya. Jika masih saja tidur, Mila pasti akan menyiram kasurnya dengan air ember.

Tapi hari ini Mila Yashura sama sekali tak membangunkannya. Jadi ia bertanya kepada seorang pelayan.

“Oh, Nona Muda Mila sedang ada di lapangan,” jawab pelayan itu.

“Lapangan? Kak Mila latihan atau apa? Kok tumben ada di lapangan?” gumam Shira.

“Ibu-ibu yang lain juga ada di lapangan. Mereka menonton mas-mas pengawal Pangeran Edicha latihan.”

Mendengar itu Shira menjadi penasaran. Ia ingin melihat latihan seperti apa yang tengah dijalani para prajurit elite East Tiramikal Kingdom sampai membuat para wanita yang biasanya diam di rumah keluar semua untuk datang menonton.

Namun belum sempat ia melangkahkan kaki ke lapangan, ia melihat instruktur Bhalu sudah digotong tak sadarkan diri.

Apa yang terjadi?

Ia melihat, di kejauhan, pamannya Shuro tengah berbicara kepada Kakek Lharu dengan nada memelas.

“Kumohon, Kek. Tolonglah. Shuro sembah-sembah Kakek nanti, tapi tolong, tolong sekali... di depan tamu jangan terlalu banyak bikin masalah,” keluhnya.

Kakek Lharu hanya mendengus dan melipat tangan di dadanya. Dengan nada kesal ia berkata, “Shuro, kamu takut malu di depan syaiton itu, atau si bocah Tarekh itu?”

Shuro hanya tersenyum. Awalnya ia ingin dekat dan menjalin koneksi dengan Pangeran Edicha. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, ia tak mengerti apa yang dipikirkan oleh pangeran setengah laki-laki itu. Ditambah dengan rumor yang beredar, bila Shuro tak bisa mengendalikan keadaan, malah ia yang bisa merugi nantinya.

Tapi ia melihat Komandan Tarekh memegang otoritas yang cukup tinggi sebagai pemimpin prajurit elite East Tiramikal Kingdom. Di keluarga kerajaan, Shuro yakin komandan ini memiliki status yang tinggi. Jika ia bisa berteman dengan pria ini, Keluarga Yashura tak akan perlu lagi dicemooh oleh Blackwood lagi.

“Biar kubilang padamu, bocah Tarekh itu mana berani macem-macem di depanku. Dulu bapaknya kuhantam gara-gara gak sopan di depanku, terus kakeknya dateng, kuhantam lagi babak belur juga dianya. Setelah itu pamannya sampai kakek dari ibunya dan juga kerabat jauhnya bawa temen buat cari masalah juga denganku. Semua yang dateng kuhantam lagi. Keluarga Tarekh waktu itu masih keluarga bangsawan besar, setara clan raksasa, bukannya jadi keluarga bangsawan di kerajaan kecil seperti ini! Aku tau bocah Tarekh itu mengenalku, tapi dia pura-pura gak kenal gara-gara malu. Jadi Shuro cucuku, apa enthe sudah fhaham? Yang sekarang sedang kehilangan muka karena malu bukan Keluarga Yashura, tapi si bocah Tarekh itu. Dia memang diam tapi aku tau dia malu bukan maen. Ingat! Yang menghantam bapak dan kakeknya si Tarekh itu Kakek Lharumu ini, bukan sebaliknya. Jadi apa enthe sudah fhaham? Fhaham enthenya semfrul?”

Kakek Lharu menjelaskan panjang lebar dengan cepat dan air liurnya muncrat ke mana-mana. Sedang Shuro, yang baru menyadari bencana apa yang sudah diperbuat Kakek Lharu di masa lalu, hanya bisa menganga tak bergeming.

“Tapi enthe jangan takut, Cucuku Shuro. Bocah Tarekh itu, kalau punya dendam, gak akan berani menyentuh Keluarga Yashura. Sekarang dia sedang tugas mengawal syaiton itu. Jadi dia gak akan mencari masalah sendiri.”

Kata Kakek Lharu. Ia kemudian ingin berjalan pergi, tetapi ingat sesuatu. Ia mengeluarkan sekantung keping emas, dan melemparkannya kepada Shuro.

“Itu uang jajan buat anak-anak. Bagikan rata. Nanti aku akan pergi untuk mengurus urusan yang penting. Aku gak bisa mengucapkan salam perpisahan kepada buyut-buyutku,” kata Kakek Lharu dengan wajah sedih. Kesedihan itu tak ia buat-buat, tulus dari hatinya.

Kemudian ia pergi dan memanggil Shira ke rumahnya, meninggalkan Shuro yang masih menganga.

Shuro menarik napas. Harapannya untuk berteman dengan Komandan Tarekh, kandas sudah. Awalnya ia selalu bertanya dalam hati mengapa komandan itu selalu melihatnya dengan tatapan aneh, baru ia sadar alasannya sekarang.

Tapi setidaknya sekarang ia memegang keping emas yang Kakek Lharu berikan untuk anak-anak. Barangkali ia bisa mengambil sedikit untuknya sendiri. Dari beratnya, Shuro memperkirakan ada seratus keping emas di kantung itu.

Ia lalu mengambil satu keping, mengerutkan dahi ketika melihat corak dan permukaan logam emas yang tak ia kenali itu. Permukaannya sedikit kasar dari logam biasa, ketika dijepitkan dengan dua jari terasa sensasi memijit benda yang terbuat dari butiran pasir kecil yang lembut.

“Uang macam apa ini?” tanyanya dalam hati. Datang dari Kakek Lharu, ia jadi punya pandangan buruk terhadap keping emas ini.

***

<<PREVIOUS CHAPTERNEXT CHAPTER>>