Spirit Conductor: Book 2, Chapter 57


AUTO SCROLL

AUTO SCROLL ACTIVE

click sembarang untuk berhenti
gunakan scroll untuk mengatur kecepatannya


Chapter 57- Harta yang Membuat Orang Saling Membunuh

Shira menurut ketika Kakek Lharu menyuruhnya datang ke rumahnya. Shira duduk sambil merebahkan punggungnya di sebuah kursi kayu yang sudah lapuk. Kakek Lharu tak menyukai ada orang yang melihat isi rumahnya, itulah mengapa ia menunggu di luar. Lagi pula Shira bisa membayangkan seberapa berantakannya barang-barang Kakek Lharu dari suara-suara berisi yang terdengar di dalam.

Tak lama kemudian, Kakek Lharu keluar membawa sebuah kotak seukuran dada di tangannya. Kotak itu terbuat dari besi tua yang sudah karatan, serta penuh debu di sudut-sudutnya. Tapi Kakek Lharu memegangnya seperti memegang bayi sendiri. Shira yakin ada sesuatu yang penting di dalamnya.

Lalu Kakek Lharu mengeluarkan kumpulan kunci dari sakunya. Tergantung lebih dari seratus kunci di situ.

“Yang mana, ya? Lupa aku,” kata Kakek Lharu sambil mengecek satu per satu kuncinya ke dalam kotak besi tua.

Shira diam sambil duduk tegak dan mengambil postur yang sopan. Ia memperhatikan gerakan kakek memasukkan kunci-kunci itu, sama sekali tak cekatan. Mungkin ia akan menunggu lebih lama lagi untuk tahu maksud Kakek Lharu membawanya ke sini.

“Master, bukannya ini waktu yang tepat untuk meminta Kakek Lharu mengajarkan sesuatu pada Master?”

Shira menggeleng-geleng dalam hati ketika mendengar suara Kabut Ungu.

“Lihat dulu apa yang ingin ditunjukkan Kakek Lharu. Kayaknya gak sopan tiba-tiba minta diajarin begitu,” balas Shira.

“Master harus mendapatkan sesuatu dari Kakek Lharu. Biasanya Spirit Conductor, Master yang ada di dunia lain, mendapatkan hal beragam darinya. Jika Master bisa mendapatkan sesuatu yang bagus, tentu akan sangat membantu untuk menghadapi ujian Spirit Conductor kelak.”

“Haha, iya iya. Santai aja.”

*Klik!*

“Akhirnya enthe kutaklukkan juga!” seru Kakek Lharu ketika ia sudah menemukan kunci yang benar. Ia pun membukanya dan mengeluarkan sebuah buku berdebu.

“Fuuh!” Kakek Lharu meniup debu dan menepuk-nepuk buku itu. Kemudian ia menghadap ke arah Shira dan berkata, “Cu Shira, aku akan pergi hari ini. Gak tau kapa akan kembali. Bisa aja minggu depan tapi bisa juga sepuluh tahun lagi. Karena itu, aku ingin memberikanmu sesuatu.”

“Buku apa ini?” tanya Shira ketika menerima buku tua itu.

“Cu, hidup ini penuh dengan misteri. Misteri yang ada di dalam dan di luar. Suatu saat nanti, ketika kamu menjelajahi misteri itu, kamu akan membutuhkan—jangan dibuka!”

“Huh?” Shira yang hampir membuka buku itu langsung kebingungan, tangan Kakek Lharu langsung menampar bukunya tertutup kembali.

“Dengar, Shira cucu buyutku. Kamu gak boleh membuka buku ini sampai kamu dewasa. Bisakah kamu berjanji pada Kakekmu ini?”

“Oke,” kata Shira setengah hati.

Padahal dalam hatinya ia penasaran buku apa yang bisa setua ini. Rune Master, konon dikabarkan sering kali menulis penelitiannya dan apa pun yang ia pelajari dalam satu buku jurnal. Karena ketika Rune Master itu hampir mencapai ujung hayatnya, ia akan mewarisi semua ilmunya dalam buku tersebut.

“Apakah ini buku yang sedang kupikirkan?” gumam Shira.

“Bukan,” jawab Kakek Lharu ketus. “Bocah sepertimu mana tau buku seperti ini.”

“Beneran?” tanya Shira mengangkat alisnya.

Kakek Lharu menaruh telapak tangannya di pundak Shira dan menatap lekat matanya sambil berkata, “buku ini berisi teknik rahasia, Cu Shira. Tapi sebelum kamu dewasa, jika kamu membuka dan membacanya isinya, aliran mana dalam tubuhmu akan menjadi terbalik. Matamu akan meledak. Darahmu membeku, isi perutmu keluar semua, terus tulangmu bakal remuk-remuk hingga menjadi bubuk. Kalau saja Kakek Lharumu ini yakin dia bisa pulang kembali, aku gak bakal memberikanmu buku ini sekarang.”

Shira menyimak semua ucapan Kakek Lharu. Dari seberapa genting nada Kakek Lharu memperingati, ia pun menjadi percaya teknik rahasia ini sangat berbahaya sehingga ia harus dewasa sebelum membacanya.

Tapi tentu saja, Shira sadar kalau semua ancaman sampai isi perut keluar segala, hanya omong kosong Kakek Lharu belaka.

“Ah! Aku juga punya buku lain untuk kuberikan padamu sebelum aku pergi,” Kakek Lharu masuk kembali ke dalam dan suara benda-benda berantakan dibanting pun terdengar lagi.

“Kabut Ungu, aku mendapat teknik rahasia dari Kakek Lharu. Sepertinya dia menjaga buku ini sudah lama sekali. Apa buku ini bagus?”

“Selamat, Master! Mendapat teknik rahasia dari Kakek Lharu tidaklah mudah. Mendapat afinitas elemen kabut ungu sebelum menjadi Spirit Conductor, menyerap arwah makhluk kabut ungu setelahnya, lalu mendapat teknik rahasia dari Kakek Lharu, kubilang Master adalah yang paling beruntung di antara Master yang ada di dunia lain!”

“Kalau kamu bilang begitu aku jadi malu, hehe,” ucapan Kabut Ungu membuat dadanya sesak dengan rasa bangga.

“Oh ya, Master. Apa judul teknik rahasia itu. Cepat, cepat! Beritahu aku!” desak Kabut Ungu.

“Oke, oke,” Shira membalikkan bukunya, membaca tulisan yang ada di sampul buku tua itu. “Ini pasti teknik rahasia yang hebat dan sangat rahasia, bahkan kutu buku sepertiku gak pernah membaca nama teknik ini di perpustakaan Keluarga Yashura!”

“Apa tulisan di judulnya? Aku tahu banyak teknik rahasia Kakek Lharu dari ingatan Spirit Conductor yang lain. Mungkin Master mendapatkan sesuatu yang benar-benar bagus!” kata Kabut Ungu penasaran.

“Judulnya ‘Kama Sutra’,” kata Shira membaca judul buku itu. “Bagaimana menurutmu, Kabut Ungu. Apa teknik rahasia buku ini isinya bagus?”

Kabut Ungu tak menjawab.

“Kabut Ungu? Apa buku ‘Kama Sutra’ ini berisi teknik rahasia yang bagus?” tanya Shira sekali lagi.

“Huh? Ada apa Master?”

“Aku bertanya tentang buku ‘Kama Sutra’ ini. Apa kamu tau, apa Shira di dunia lain juga mendapat buku ‘Kama Sutra’ ini?”

“Huh? Huh? Oh, ya. Sebagian mereka mendapatkannya.”

“Kenapa suaramu jadi malu-malu begitu. Apa ada yang aneh? Celanaku ada yang bolong?”

“Nggak ada apa-apa,” jawab Kabut Ungu cepat.

“Aku gak sabaran menjadi dewasa untuk mempelajari teknik rahasia ini,” ucap Shira bertekad.

Kabut Ungu tak menjawab lagi.

Kakek Lharu pun keluar lagi dari rumahnya, membawa kotak besi kedua.

Setelahnya, ia menggunakan kumpulan seratus kunci itu lagi. Mencoba satu per satu.

“Bukan yang ini. Yang ini juga bukan. Yang ini? Oh, bukan juga. Ah, masa bodo!”

Tiba-tiba Kakek Lharu mengepalkan bogemnya. Cahaya listrik kuning, yang berkobar liar hidup dari energi mana yang luar biasa pekat, muncul dari bogem itu.

*BAAAANG!!!*

Shira menutup matanya oleh silau energi listrik hasil ledakan yang ditimbulkan pukulan Kakek Lharu.

Dengan bogem listriknya Kakek Lharu menghantam kotak besi itu, sampai pecah berkeping-keping. Sebuah buku lain pun muncul di situ, tanpa tergores atau rusak sama sekali.

“Ini adalah buku yang sangat penting dalam hidupku,” gumam Kakek Lharu ketika memegang buku itu. Shira bisa melihat keengganan dalam matanya.

Shira ingat pernah membaca, seorang Rune Master tak akan rela memberi rahasia terbesarnya, bahkan kepada muridnya sendiri. Konon katanya, buku jurnal seorang Rune Master adalah harta karun yang bisa diperebutkan sampai darah tumpah di mana-mana.

Apa yang akan terjadi bila orang-orang tahu Shira mendapatkan buku terpenting bagi seorang Rune Grand Master seperti Kakek Lharu?

“Cu Shira, ini adalah buku yang gak pernah dibaca oleh orang lain selainku. Kuharap kamu merawat buku ini baik-baik, dan menjadi orang hebat nantinya,” kata Kakek Lharu serius.

“Apa buku ini seperti yang aku pikirkan?”

“Ya, tepat sekali, kamu menebaknya dengan benar,” Kakek Lharu mengangguk-angguk. “Ini buku judulnya ‘1001 Jurus Memijat Super ala Teknik Mbah Lharu’. Dengan buku ini, suatu saat nanti kamu akan menjadi tukang pijat yang lebih hebat dariku.”

Kakek Lharu menganguk-angguk puas. Ia merasa lega bisa menurunkan jurus dan teknik terbaiknya kepada penerus Keluarga Yashura.

Tapi Shira malah hanya memaksakan senyumnya. Buku ini sama sekali jauh dari yang ia harapkan.

“Apa Kakek Lharu punya buku lain?” tanyanya memelas.

“Hmm? Buku seperti apa?”

“Buku untuk menjadi Grand Rune Master hebat seperti kakek, contohnya.”

“Hah?! Buat apa kamu pengen menjadi Rune Master? Mending gak usah. Jadi Rune Master itu sebenarnya gak enak. Orang-orang bakal minta digambarin rune gratis hanya karena mereka temanmu. Kadang-kadang kalau ada yang bayar pun nego harganya kelewatan, bikin sakit hati! Mending kamu gak usah jadi Rune Master. Kebanyakan makan garam bisa-bisa mati stress kamu!”

“Kalau begitu apa ada buku tentang gaya pedang, Kek?”

“Apa kamu kidal?” tanya Kakek Lharu mencari tahu.

Shira menggelengkan kepalanya.

“Kalau gitu mending kamu cari gaya pedang yang lain. Kalau kamu gak kidal terus masih ngotot pelajari gaya pedangku sama saja cari mati namanya. Kalau kamu masih pengen diajarkan sama Kakek Lharumu ini seharusnya kamu ikut latihan tadi di lapangan bareng yang lain.”

Shira mendesah dalam hati. “Setidaknya aku masih punya ‘Kama Sutra’,” gumamnya menghibur diri.

Kemudian Kakek Lharu memberikan Shira kantung uang yang besar dan berat. Shira bisa memperkirakan jumlahnya berisi seribu lebih. Kakek Lharu memberikan uang sebanyak itu untuk jajan Shira.

Shira pun kembali ke kamarnya untuk menaruh uang itu sebelum pergi ke bukit tempatnya bermalas-malasan. Sempat ia mengambil satu keping untuk diperiksa, dan ia terkejut melihat keping emas dengan corak yang asing dalam benaknya.

“Kabut Ungu, apa kamu tau mata uang apa ini?” tanya Shira dalam hati.

Tak ada jawaban dari Kabut Ungu.

“Kabut Ungu? Apa kamu mendengarku?”

“Huh? Huh? Master?” suara Kabut Ungu terdengar kecil sekali, seperti bisikan di samping telinga.

Shira mengerutkan alisnya. Kabut Ungu menjadi aneh seperti ini ketika ia menanyakan tentang buku ‘Kama Sutra’. Tapi ia tak mengerti apa yang sebenernya terjadi pada kesadaran wanita ini.

“Kamu tau mata uang apa ini?”

“Huh? Dari mana Master mendapatkan uang itu?” tanya Kabut Ungu kebingungan.

“Apa kamu gak ingat? Tadi Kakek Lharu yang memberikannya.”

“Oh, Kakek Lharu. Kalau ada Kakek Lharu seharusnya gak apa-apa.”

“Apa kamu gak ingat lagi? Kakek Lharu memberikanku uang ini karena dia mau pergi.”

“Ah! Master, Master harus menyembunyikan uang itu, jangan sampai ada yang tahu!” seru Kabut Ungu tiba-tiba.

“Kenapa? Apa menyimpan uang ini berbahaya?” tanya Shira.

“Ya! Jika ada Kakek Lharu yang melindungi, gak akan ada yang berani mengganggu Master. Tapi kali ini berbeda! Banyak orang yang rela saling membunuh hanya untuk sekeping uang itu!”

“Kabut Ungu, kamu jangan menakut-nakuti,” bisik pemuda itu dalam hati. Ia pun mulai merasa resah.

“Aku gak bercanda Master. Jangan beritahu siapa-siapa tentang uang ini!” desak Kabut Ungu.

“Padahal ini uang untukku jajan,” keluh Shira.

“Master, seberapa banyak yang Kakek Lharu berikan?” tanya Kabut Ungu.

“Uang ini? Kira-kira seribu keping.”

“Seribu keping?! Apa Kakek Lharu ingin membawa bencana ke keluarga ini?”

“Kenapa kamu bilang begitu? Aku yakin Kakek Lharu berniat baik memberikan uang kepada kami.”

“Kami? Master, apa ada orang lain yang mendapatkan uang ini?”

“Ya. Apa kamu gak liat tadi? Hampir semua anak-anak Keluarga Yashura mendapatkan uang jajan dari Kakek Lharu.”

Kabut Ungu terdiam sejenak, kemudian berkata dengan nada genting:

“Master, ini serius. Sebaiknya Master cepat-cepat melarang semua anak-anak yang lain untuk membelanjakan uang itu sebelum orang-orang pada tahu.”

“Segawat itukah?”

“Ya. Barangkali sekarang Master membutuhkan bantuan dari orang lain. Karena jika Kakek Lharu benar-benar akan pergi, Keluarga Yashura gak akan memiliki orang yang cukup kuat untuk melindungi diri.”

“Bagaimana dengan Mas Arwah Baik Hati?” Shira baru mengingat arwah itu, tak pernah muncul lagi di depan wajahnya. Barangkali karena ia terlalu lama di laut, sampai terbiasa hidup tanpa kehadiran Arwah Baik Hati lagi. Padahal kemarin-kemarin sebelum Shira menjadi Pemberontak arwah itu setiap hari mengawasi keberadaannya.

“Master, apa Master percaya pada arwah itu? Bahkan ia datang ke sini dengan motif tersendiri. Bukannya bakal berbahaya berurusan dengan orang sepertinya?”

“Gak masalah. Aku hanya tinggal bilang mempunyai 100 keping uang ini dan akan membaginya setengah jika dia setuju untuk melindungi keluargaku.”

“Apa itu akan berhasil?” tanya Kabut Ungu ragu.

“Aku sudah lumayan lama mengenal Mas Arwah Baik Hati. Walaupun kadang dia menyembunyikan maksud hatinya tapi dia gak bisa menyembunyikan sifat tamaknya. Dia itu tipe orang yang suka membuat rencana licik tapi orang seperti Mas Arwah Baik Hati biasanya gak pernah berencana untuk jangka panjang.”

“Benarkah? Dari mana Master bisa yakin Gyl bakal seperti itu?”

“Dari penjahat di buku-buku dongeng,” jawab Shira dengan polosnya.

“Master... apa Master benar-benar yakin...”

“Percaya saja. Pasti berhasil, aku yakin. Masalahnya sekarang si Mas Arwah Baik Hati itu sedang di mana. Beberapa hari belakangan ini dia gak ada di sini. Biasanya dulu paling lama dia pergi, pas malamnya sudah balik.”

***

Toko di suatu tempat di Desa Badril.

Toko ini biasanya menjual materi-materi untuk Rune Master. Karena kualitas barang yang dijual rendah, terlebih jarang ada Rune Master di desa ini, toko ini menjadi sepi pelanggan.

Biasanya pagi-pagi begini toko ini sudah buka. Tapi pintu toko terkunci rapat, tirainya tertutup dari dunia luar. Dan tak ada orang yang curiga dan bertanya, apa yang sebenarnya terjadi di dalam.

Ada dua orang berseragam prajurit kereajaan lain di situ. Seorang dari mereka, yang berwajah bangsawan dan memasang air muka angkuh setiap saat, tengah mengelap pedangnya yang bernodakan darah segar dengan kain lap.

Sedang prajurit yang lain, memukuli tubuh si penjaga toko dengan bogemnya.

“Tolong... jangan siksa lagi... aku sudah memberitahu semua yang kutahu...” isak penjaga toko itu sambil menahan rasa sakit.

Kondisinya memperihatinkan. Kaki kanan di bawah lututnya, sudah dipotong karena disiksa semalaman.

“Apa kamu pikir kami akan percaya ucapanmu begitu saja?” cibir orang yang memukulnya barusan.

“Tapi ak—aku gak punya alasan untuk berbohong,” kata penjaga toko itu dengan suara gemetar. “Tolong bunuh saja aku langsung. Jangan siksa lagi...”

Prajurit yang memukulnya tadi mengangkat bahu, kemudian melihat ke arah kawannya. “Apa kamu pikir dia berkata jujur?”

“Entahlah. Coba tanya lagi,” jawab temannya.

Prajurit yang memukul itu mengeluarkan sekeping koin emas, sama persis dengan koin emas yang dibagikan oleh Kakek Lharu pada anak-anak Yashura.

“Kutanya kamu sekali lagi. Dari mana kamu mendapatkan uang ini?”

Penjaga toko itu gemetar ketakutan. Ia menjawab jawaban yang sama sejak awal, tapi dua orang ini sama sekali tak percaya ucapannya.

Tapi apa yang bisa ia perbuat, ia hanya bisa mengucapkan kunjungan Kakek Lharu yang mencari materi untuk Rune Master dan memberikannya uang ini ketika si penjaga toko menyarankannya untuk mencari materi Rune Master yang lebih baik di tempat Kepala Desa.

Mendengar jawaban itu, ia pun di hajar habis-habisan lagi.

“Apa kamu mau bilang, ada kakek bodoh datang kemari, memberikanmu emas suci ini, mata uang yang digunakan oleh para dewa langit hanya karena kamu memberikannya jawaban sederhana seperti itu?”

Penjaga toko itu mengangguk lemah. “Waktu itu aku gak tau koin apa ini... kakek itu... dia datang mencari materi untuk Rune Master lalu pergi untuk mencuri di tempat Kepala Desa. Konon kabarnya dia adalah kakek gila. Semua orang menjauh ketika melihatnya di jalan.”

Prajurit itu mendesahkan napas kemudian melihat ke arah temannya. “Apa kamu pikir dia berkata jujur sekarang?”

“Kalau memang dia bohong kita bisa berbuat apa? Dia menjawab dengan jawaban yang sama sejak tadi.”

“Kita seharusnya membunuhnya sebelum banyak orang yang tau soal koin ini.”

“Gunakan pedangmu,” kata temannya. “Kutunggu di luar.”

Saat prajurit yang memukulnya sejak tadi menarik pedangnya, penjaga toko itu tahu nyawanya sudah berakhir. Ia hanya berharap ia mati tanpa rasa sakit lebih banyak lagi.

Beberapa saat kemudian, toko itu terbakar. Tak ada yang melihat dua orang prajurit dari Tatalghia Kingdom menyusup keluar dari situ.

“Kita kaya! Satu koin emas ini saja berharga ratusan ribu koin emas Benua Tiramikal! Aku bahkan mendengar jika ada pameran khusus... nilai koin ini bisa mencapai jutaan koin emas biasa!”

Temannya menggelengkan kepala. “Kita kaya dengan mendapatkan uang ini. Tapi jika kita membelanjakannya secara langsung, itu sama saja kita mencari mati.”

“Terus bagaimana menurutmu? Apa kita berikan kepada pangeran tua saja? Suasana hatinya lagi buruk karena gak mendapatkan petunjuk apa-apa tentang pilar cahaya biru waktu itu. Mungkin jika kita mempersembahkan koin ini dia akan senang.”

Temannya menggeleng lagi. “Pangeran tua terlalu berhati-hati orangnya. Mending kita berikan kepada pangeran muda. Dia sedang membutuhkan kontribusi kepada keluarga kerajaan untuk bisa mempertahankan posisinya sebagai putra mahkota.”

“Sepertinya kamu benar. Barangkali dia akan memberikan kita salah satu perempuan yang ia simpan, hehe.”

“Lupakan tentang perempuan. Coba kita pikirkan kembali masalah kakek itu,” kata prajurit yang lain.

“Bukannya dia kakek yang tolol buang-buang harta karun seperti ini?”

“Untuk bisa mengeluarkan uang koin suci ini begitu saja, dia pasti bukan orang biasa.”

“Hmm... penjaga toko itu bilang dia berasal dari Keluarga Yashura.”

“Apa kamu pernah dengar pahlawan dari Keluarga Yashura yang terkenal?”

“Petarung yang kuat ya? Aku hanya pernah mendengar nama Jhuro Yashura. Tapi harusnya dia seumuran kita.”

“Kalau begitu biar kita serahkan masalah itu kepada pangeran muda saja. Dia yang akan mengurus Keluarga Yashura nanti,” kata si prajurit itu saat mereka menyusuri jalan setapak tanpa ada orang yang menyadari keberadaan mereka.

***

<<PREVIOUS CHAPTERNEXT CHAPTER>>